Rabu, 31 Agustus 2016
Tempat :
Goethe Haus, Pusat Kebudayaan Jerman Jakarta,
Jl. Sam Ratulangi No. 9-15. Jakarta.
Kuliah oleh Karlina Supeli
"Masyarakat Ilmiah vs Masyarakat Takhayul"
Host :
Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SEJUK)
Penerima penghargaan |
Ulasan Redaksi Kuliah
oleh Karlina Supeli
"Masyarakat Ilmiah vs Masyarakat Takhayul"
Tema sederhananya "Berpikir, Bersikap dan bertindak masuk akal -reasonable"Mitos Gerhana Matahari Total 2016; Mitos Bidadari Banggai di Medsos Akhir April 2016, ternyata boneka intim. Mitos bocah bertelur ternyata penyakit. Mitos 27 Agustus 2016 ada 2 bulan di langit. Mitos mendekatnya Mars. Memeriksa berita lebih sulit dan repot. Perang di dunia maya.
Budaya komentar, 'Setan Gundul' Teknologi dua wajah yaitu perkara kita sanggup dan tidak sanggup hidup dalam tegangan dunia baru bernama dunia maya. Teknologi dunia maya membuat demokratisasi pengetahuan berjalan cepat dan tidak terbatas. Teknologi sekaligus melahirkan budaya komentar. Masyarakat Ilmiah berat. Saat kita mendapat kabar tentang suatu kejadian, adalah masuk akal bahwa kita percaya akan isi kabar jika kabar itu sejalan dengan pemahaman kita tentang hal-hal umum. Muncul 2 bulan di langit.
Takhayul adalah kepercayaan atau praktik tentang hal ihwal yang hanya ada dalam khayal. Takhayul muncul karena ketidak tahuan atau takut atau takjub pada yang tidak diketahui. Ilmu cara berpikir sistematik. Air mendidih kalau sudah bergolak.Ciri pengetahuan ilmiah bersifat intersubjektif - berjalan melalui komunikasi terbuka. Ada yang menguji. Galileo membuktikan ada benda-benda langit melalui teleskopnya. Bisa diuji. Pengetahuan ilmiah tidak selalu benar. Dan tidak mutlak. Mengapa turun hujan dan ada petir ? Mendapatkan pengetahuan yang objektif.
Sekulerisasi gampang menyalahkan Tuhan (abad 13). Mengapa, bagaimana terjadi ? Ratu Kidul ngamuk karena dilarang berkemben ?. Bukan ilmu pengetahuan menolak hal supranatural bahwa ilmu menyangkal penjelasan itu. Mengurangi subyektivitas menjadi sekecil mungkin. Dan obyektivitas tidak berarti tanpa subyektivitas. Tidak mendasarkan pengalaman pribadi dan tidak bisa diulang. Kisah penciptaan bumi dan manusia. Kesanggupan berpikir ranah. Overload dengan agama. Agama dasar dijadikan untuk menghakimi. Obyektivitas. Realitas di luar dirinya. Cara berpikr masuk akal. Sumbernya adalah filsafat dan ilmu-ilmu yang menghormati objektivitas; bukan karena mau mengklaim kebenaran, melainkan karena mau mencari kebenaran yang bukan berasal dari tafsiran kita sendiri. Ke UU, Peraturan. Negara Demokrasi.
Hukum menjadi bernilai persis ketika hukum sanggup membela golongan yang suaranya tidak tertampung dalam mayoritas yang ramai dan kuat. Ilmu diajarkan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Melatih kesanggupan untuk melihat realitas objektif.
Memeriksa batin. Olah batin dan refleksi. Spiritual. Beragama dan beriman ? Siapa yang menggerakkan ? Setan ? Dilatih stimulus dan insentif. Response ? Pendekatan teknokratik. Anjing Pavlof. Perubahan karena dirangsang. Perlu ahli pedagogi untuk transformasi. Kebudayaan. Pendidikan dan ilmu adalah anak kebudayaan. Perlu latihan.Latihan ragawi untuk kebiasaan. Mitos, legenda. Saat GMT ibu hamil. Takhayul untuk menakuti, demi mendukung kelompoknya. Mahkamah Konstitusi mencampurkan fakta dan opini.
Dalam media ada supply dan demand. Wartawan adalah trend-setter. Perlu kepekaan. cara berpikir berkaitan kebertubuhan. Tubuh dan hasrat didalamnya adalah bagian dari diri kita yang perlu dilatih dan dididik supaya tidak liar dan semau-maunya. Ignasius Loyola di Spanyol vs keledai. Keberagaman dan jamak adalah realita Indonesia. Marilah jernihkan pikiran kita.
Pemenang Diversity Award 2016 :
- Furqon Ulya Himawan, Media Cetak dari Media Indonesia.
- Margi Ernawati, Media Radio, dari Radio Elshinta Semarang.
- Heyder Affan, Media Online dari BBC Indonesia.
- Jessica Helena Wuysang, Fotografi. Jurnalistik dari LKBN Antara.
Slide foto - foto selama acara |
NOMagz.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar