Jumat, 9 September 2016
Tempat
Kantor PARA Syndicate,
Jln Wijaya Timur 3 No. 2A
Narasumber:
- Prof. (Riset) DR. Hermawan Sulistyo (Peneliti Senior LIPI)
- Dr. Wawan H. Purwanto (Pengamat Inteligen)
- Fahri Huseinsyah (Peneliti PARA Syndicate)
Moderator :
Y. Ari Nurcahyo
Ulasan Redaksi :
Fahri Huseinsyah
Ekonomi global sedang lesu berdampak ke regional; USA belum pulih, lemahnya nilai Rupiah, adanya isu separatisme (Organisasi Papua Merdeka), manuver Republik Maluku Selatan, Gerakan Aceh Merdeka, perselisihan Laut Tiongkok Selatan, adanya barang selundupan, radikalisme, terorisme, human trafficking, perang asimetris dan multidimensi. Fungsi intelijen perlu diperkuat di perbatasan.
BIN belum optimal untuk menunjang agenda pertumbuhan ekonomi dan akan adanya Pilkada 2017. Perlu reposisi dan reformasi BIN. Dengan pendekatan sipil untuk membendung invasi budaya asing. Modernisasi, human security, negara harus hadir, memperkuat jangkauan sehingga kehadirannya dirasakan oleh masyarakat. BG perlu melakukan perubahan kultur BIN, dan konsolidasi internal untuk mencegah terjadinya kontestasi sipil-militer.
Konflik laten, 1965 Badan Pusat Intelijen dipimpin oleh Subanrio.Post 1965 dibentuk BAKIN sebagai pelengkap BAIS. Mengemukakan modernisasi dan profesionalisme; sesuai perkembangan ekonomi, sosial, dan budaya. BIN adalah think thanknya presiden. BIN harus terbuka.
Prof. Hermawan Sulistyo
BIN adalah transformasi dari BAKIN. Pada Orla intelijen lebih banyak beroperasi di luar negeri. Kini operasi BIN lemah di luar negeri. Mossad fokus ke luar negeri karena adanya ancaman dari luar. Abu Sayyaf berkali-kali melakukan penculikan, tetapi kita belum bisa mengatasinya. Fungsi intelijen adalah memberikan saran dan akhirnya untuk membuat kebijakan. Masalah BIN, sebagian staf internalnya belum profesional (ponakan, tetangga), kontestasi TNI-POLRI, fokusnya dalam negeri. Penunjukan BG merupakan kompromi. Tugas BG merubah paradigma BIN. Memimpin BIN bukanlah masalah teknis, tapi masalah managerial.
Wawan H. Purwanto
Persoalan intelijen bersifat unik, tidak kelihatan semuanya tapi abu-abu, bukan untuk konsumsi publik. Semakin tersembunyi semakin menarik, yang tergambar kulitnya saja. Pergantian kepala BIN adalah hal biasa, tidak ada persoalan mendasar. BIN adalah mata dan kepala/otak presiden. Perlu adanya trust, integrity, intelectual dan intimacy, sekaligus president's interest.
BIN memberikan early warning system untuk mengantisipasi terjadinya isu SARA, teror, mengubah ancaman sebagai peluang. Adanya polemik di dunia intelijen adalah hal biasa. Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia, menjadi incaran untuk selalu digoyang agar tidak stabil. Pelakunya bisa ada di Indonesia, tapi pemikirnya ada di luar negeri. Indonesia ibarat gadis cantik. Ada UU yang dibikayai asing. Karena kaya sumber daya alam. Gara-gara rempah-rempah kita dijajah. Pancasila 'disingkirkan' sebagai wujud perang asimetris. Bisa dilakukan mapping untuk mengantisipasi masalah dengan keberanian melakukan ofensif dan mengambil langkah strategis. Pendidikan dan pengalaman BG memadai untuk menjabat sebagai kepala BIN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar