Jumat, 5 Agustus 2016
Tempat :
Kantor PARA Syndicate,
Jl. Wijaya Timur III No. 2A, Kebayoran Baru Jakarta 12170
NARASUMBER :
- Prof. Dr. Syamsuddin Haris (Peneliti Senior P2P LIPI)
- Dr. Andreas Pareira (Ketua DPP PDIP)
- Benny Susetyo (Pengamat Komunikasi Politik).
- Y. Ari Nurcahyo (Direktur Eksekutif PARA Syndicate/Moderator)
Manuver Golkar dengan mendeklarasikan Jokowi sebagai calon Presiden untuk Pilpres 2019 dinilai sebagai strategi jitu untuk mendongkrak citra Partai Beringin yang sedang terpuruk. Tidak hanya itu, dukungan Golkar terhadap Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok dalam Pilkada DKI pada Februari 2017 juga dinilai selangkah lebih maju dibanding PDI-P yang terkesan menunggu bola.
Karena itu, PDI-P perlu waspada pada Pemilu dan Pilpres 2019. Manuver Golkar itu dinilai ingin mendulang suara dan simpati publik yang mengidolakan Jokowi. Bagaimana pun figur Jokowi masih memiliki popularitas dan elektabilitas yang tinggi dibandingkan kandidat presiden lain menuju kontestasi 2019.
Ulasan Redaksi :
Prof. Dr. Syamsuddin Haris
- Kabinet hasil reshuffle
- Golkar calonkan Jokowi
- Posisi PDIP dalam konteks Pilkada.
Kabinet Jokowi hasil reshuffle jilid II sebagai kabinet yang mempunyai tiga setengah kaki. (Ada yang bilang dua kaki).
1. Kaki politik; fenomena akomodasi politik terhadap Golkar dan PAN.
2. Kaki Profesional dengan masuknya Sri Mulyani.
3. Kaki kekuatan oligarki (Megawati).
4. Setengah kaki maksudnya JK, termasuk Sofyan Jalil).
Daya tahannya tergantung pemerintah Jokowi atas agenda-agenda; Paket Kebijakan Ekonomi upaya menaikkan pendapatan melalui pajak serta Tax Amnesty. Intensifikasi pajak. Koalisi Jokowi memperkuat konsolidasi dan basis politiknya. Tapi ini bukan jaminan akan dukungan sampai akhir jabatan Jokowi. Misal saat pemerintahan SBY. Koalisi Jokowi hanya didasarkan saling percaya ketua parpol.
Kompensasi politik yang diberikan Jokowi. Bagi-bagi kekuasaan. Koalisi besar juga merisaukan, karena berpotensi transaksional dan meminimalkan/mematikan oposisi di DPR. Tidak ada ikatan politik yang kokoh. Dengan bergabungnya sebagian parpol, praktis tinggal Gerindra dan PKS sebagai oposisi. Tidak ada kekuatan civil society sebagai penyeimbang. Kabinet ini lebih baik dari reshuffle I. Penggantian menteri sudah berdasarkan kinerja. Jonan berkinerja baik tapi dicopot juga.
Kabinet ini tidak semata-mata perwakilan politik: tapi perwakilan daerah, gender, etnis dan sebagainya. Jadi tidak ada yang sempurna. Mengapa tiba-tiba setelah Jokowi menyebut susunan kabinet, keesokan harinya Golkar menyatakan mendukung Jokowi sebagai capres 2019.
Ada 4 faktor :
1. bisa jadi Golkar memandang haluan politik jokowi/JK sesuai dengan ideologi Golkar.
2 Golkar ingin memperoleh keuntungan elektoral dengan menumpang popularitas Jokowi.
3 Golkar ingin menitipkan agar cawapres di Pilpres mendatang orang Golkar.
4. Golkar memang ingin mengambil alih Jokowi dari PDIP.
Karena tidak adanya dukungan tulus PDIP. Golkar ingin Jokowi menjadikan Golkar sebagai kendaraan politiknya di pilpres 2019 yang akan datang. Bingung dengan sikap PDIP di pilkada DKI Jakarta. Sampai kini PDIP belum mau mengumumkan nama cagubnya. Dan bahkan masih mencari calon di luar PDIP. Ahok ini ibarat "Benci tapi rindu" bagi PDIP. Ibu Mega tidak ingin dianggap tunduk kepada Ahok. Pada akhirnya PDIP akan mendukung Ahok. Karena Ahok juga ingin mendapat dukungan Mega dan Jokowi pada akhirnya. Ada ikatan batin antara Jokowi dan Ahok di DKI.
Fenomena Golkar yang mendukung Jokowi menunjukkan level politik kita kini yang belum beranjak; yakni elitis, personal. Politik dalam kehidupan berbangsa kita belum pada level gagasan/ide. Kualitas kehidupan politik kita masih stagnan (jalan di tempat). Karena level pendidikan dan kesejahteraan masyarakat kita belum memadai. Tantangan bagaimana menjadikan pemilu untuk menghasilkan pemimpin yang baik. Dan pemerintahan yang baik; bukan sekedar penguasa. Sebagai elemen society (media sosial, NGO, akademis) harus mengambil peran dan inisiatif. Jangan sampai militer mengambil alih kekuasaan.
Dr Andreas Pareira
Partai Golkar tidak pernah menang di saat di Pilpres. Di mata PDIP manuver Golkar ini tidak lebih pada kepentingan elit politik. Dukungan Golkar terhadap Jokowi di pilpres adalah prematur. Harusnya bagaimana mensukseskan pemerintahan Jokowi sekarang. Kalau 70% target kabinet tercapai, maka presiden Jokowi akan terpilih kembali di Pilpres 2019. Mengawal pemerintah jadi fokus PDIP, juga konsolidasi partai. Persoalan Golkar dengan anak-anak (pecahan) Golkar.
Begitu juga dalam konteks DKI. Partai pendukung pemerintah adalah satu hal. Pecahan Golkar masih eksis berpolitik, sedang pecahan PDIP tidak.UU Pilpres dan Pileg sampai saat ini belum selesai. Apakah pemilih Golkar akan memilih Jokowi atau pemilih Jokowi akan memilih partai Golkar juga ? Pilkada 2017 akan jadi batu ujian bagi parpol; termasuk Golkar. Pilkada DKI dari awal terlalu cepat panas. Banyak enerji terkuras. Pointnya pada akhirnya yang ditunggu adalah calon gubernur pilihan PDIP untuk Pilkada DKI Jakarta. Kata bu Megawati tenang-tenang saja, PDIP punya banyak calon. Mengusung saat awal belum tentu menguntungkan.
Momentum yang tepatlah saat terbaik untuk mengumumkan calon PDIP. Ahok didukung PDIP di Pilgub DKI 2012. Sinyal Mega sebenarnya mendukung Ahok-Djarot di pilgub DKI 2017. Ahok ini dalang atau wayang ? Apa yang ada dibalik sikap politik Ahok ? Gubernur akan berbuat apa di masa depan ? Apa akan tetap di garis PDIP ? Soal elektabilitas bisa berubah dan dinamis. Apa yang disampaikan profesor Hamdi Muluk. Aspek kualitas yang relatif permanen melekat pada diri calon, misal kapabilitas merupakan hal penting.
Aspek elektabilitas masih njomplang diantara calon. PDIP mengikuti mekanisme partai supaya tidak merusak tatanan. Memang ada irisan pemilih Ahok dengan pemilih PDIP. Jadi gubernur di DKI ini tidak mudah. Pemilih DKI adalah pemilih rasional. Calon gubernur DKI harus punya track record kinerja yang baik. PDIP punya identitas/sikap/ideologi yang jelas. Politik itu menjual ide; bukan sekedar berebut kekuasaan.
Benny Susetyo
Golkar ketinggalan dan tidak punya stok calon. Maka Gollkar mendeklarasikan sebagai partai pemerintah. Golkar sulit diterka dan sikapnya berubah-ubah. Yang dipentingkan adalah kekuasaan. Tapi Jokowi "mengunci" Golkar. Mega tidak mau foto bersama anggota Golkar meski diminta oleh S Novanto. Bahasa simbolis Mega. Mega tidak mau dikendalikan Golkar. Ruang ekspresi menjadi penting. Hanya taktik Golkar untuk meraih suara kalau suara sudah diraih belum tentu Golkar akan tetap mendukung Jokowi. Keputusan terakhir cagub DKI ada di tangan Megawati.
Memahami bahasa tubuh Mega. Ahok memahami Mega. Adalah takdir Ahok sulit menjaga mulutnya. Ini taktik Ahok untuk menaikkan popularitasnya. Kalau PDIP tidak mendkg Ahok kontestasi di Pilkada DKi akan semakin dinamis/ramai. Waktu salah satu tanda dan ini yang dimanfaatkan Golkar. PDIP dilematis. PDIP harus mendekat ke Jokowi kalau tidak Golkar yg akan meraih keuntungan. Golkar meraih momentum karena adanya pemilih baru berusia muda. Jokowi merupakan pendulum untuk meraih suara. Kultur Golkar adalah kultur VOC/dagang. Partai ideologi seperti PDIP selalu hati-hati dan lamban dalam memutuskan. Mega punya kartu truf dan politisi yang sangat berpengalaman. Golkar selalu bermuka dua, panggung depan dan belakang.
Kekuatan sipil harus diberi ruang.Demokrasi terancam karena kurangnya ruang menyampaikan pendapat. Bahasa non verbal menjadi verbal. Manuver Golkar adalah politik dagang sapi. Politik ini seni kompromi, permainan branding, dinamis. Ahok menerapkan politik branding dengan mengumpulkan dukungan KTP. Pilkada DKI ini misteri. Dalam branding momentum lah yang terpenting. Biarkan politik berjalan rasional dan berproses.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar