Jumat, 3 Juni 2016
Tempat :
RM Bumbu Desa, Jalan Cikini Raya No. 72. Jakarta.
Narasumber :
- Drs. H. Asnawi (Ketua Asosiasi Pedagang Daging Indonesia).
- Thomas Sembiring (Ketua Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia).
- Dr. Ir. Mushdalifah Machmud, MT. (Deputi Kemenko).
- Dr. Ir. Sasmito, M.Sc. (Deputi BPS).
Pembahas :
Dr. Enny Sri Hartati (Direktur INDEF)
Sudah kesekian kalinya Presiden Jokowi memberikan perhatian yang luar biasa terhadap harga daging sapi. Mutlak, harga daging sapi harus turun dan mencapai Rp 80.000 per Kg. Beberapa Kementerian dan BUMN terkait langsung ekstra keras mencari solusi dalam melaksanakan perintah Presiden ini. Akhirnya Kementan mengeluarkan ijin impor daging sebanyak 10.000 ton dari negara seperti Australia. Sekaligus menugaskan Bulog dan Berdikari sebagai importirnya. Rencana pemerintah untuk menekan harga daging tidak sampai disitu. Bahkan konon, kuota impor sapi akan ditambah 100.000 ekor lagi.
Selain itu Pemerintah pun berencana bekerjasama dengan pihak Lulu Hypermarket untuk memasarkan daging india dengan jaminan kepastian harga jual Rp 80.000 per Kg. Hal yang perlu dikritisi adalah apa yang menjadi dasar dalam menetapkan harga Rp 80.000 per kg? Apakah sudah memperhitungkan biaya produksi daging sapi lokal? Apakah langkah yang diambil pemerintah benar-benar mampu menjamin harga turun ke level Rp 80.000 per Kg? Kalau ternyata harga daging secara umum tidak turun, maka apakah isu mahalnya harga daging merupakan legitimasi agar terjadi impor daging dan memperluas akses pasar bagi pelaku bisnis baru? Selanjutnya, apakah makna sebenarnya dari harus turunnya harga daging ke level Rp 80.000 per Kg ini? Apakah untuk menstabilkan harga daging atau untuk menstabilkan Jakarta?
Mengingat rencana distribusi daging impor tsb adalah di wilayah Jakarta. Sementara harga daging di wilayah lainnya dibiarkan tinggi. Selain itu, Siapakah sebenarnya masyarakat yang diuntungkan dengan berbagai OP yang dilakukan oleh pemerintah? Ramadhan dan lebaran harga daging harus turun. Apakah jenis daging yang diimpor, mampu menjamin harga daging turun? Atau tepat untuk melaksanakan stabilisasi harga daging? Ujung akhirnya, apakah yang dimaksud harga daging yang mahal? Siapakah yang menjustifikasi harga mahal? Siapakah yang dirugikan dari mahalnya harga daging ini? Tentunya sangat menarik jika publik mengetahui supplai chain daging dari hulu hingga hilir. Dari semua polemik terkait harga daging, tentunya publik perlu memahami rasionalitas harga daging sapi. Apakah sudah tepat rencana pemerintah dalam menurunkan harga daging sapi?
Ulasan Redaksi :
Dr. Ir. Sasmito, M.Sc.
Perkembangan harga eceran daging sapi per kg, Januari 2013-Mei 2016.Apakah target harga RP 80.000,- bisa tercapai ? Mungkin saja.Perkembangan konsumsi daging sapi 2014-2015. Terjadi penurunan konsumsi daging sapi di 2015.2014 = 3,09 kg/capita. 2015 = 2,52 kg/capita. Produksi dan konsumsi daging sapi 2014-2015.Untuk menurunkan harga kuncinya di supply/persediaan. Penurunan konsumsi dilakukan Rumah Makan Minang dengan cara memperkecil ukuran rendang, misalnya.Kita harus impor sapi hidup atau daging bekuan ?
Drs. H. Asnawi
Selama 6 bulan terakhir harga sapi tidak kunjung turun. Meskipun kran impor telah dibuka. Salah satu penyebab harga sapi tinggi, rendahnya kurs RP terhadap USD.Harapan masyarakat harga terjangkau. Harapan pemerintah harga murah.675.000 kg kebutuhan sapi di 2016.Kemampuan supply lokal 65%. Harga pasar rasional RP 100.000 - RP 105.000,-. Jadi penetapan harga RP 80.000 tidak rasional. Uraian daging sapi. Harga daging versi pemerintah. Daging karkas frozen. Perbandingan daging segar vs daging bekuan. Solusi, melakukan sensus data sapi, pengembang-biakan inseminasi buatan, impor 2 juta induk betina.
Ir. Thomas Sembiring
Impor sapi mulai 1970an. Larangan impor sejak 2014.Populasi sapi, jumlah impor tahun 2004-2013; dan 2014 Pertumbuhan penduduk 3 juta/tahun. Pariwisata meningkat, turis membutuhkan daging sapi. Bagian sapi paha belakang paling favorit. Importir tidak boleh menjual ke pasar umum tapi menjual ke horeka (hotel, resort, kafe). Demand daging 2015-2016. Hanya 6 propinsi penghasil daging sapi, yaitu Sulsel, Jateng, Jatim, NTT, NTB, Bali. Lupakan swa sembada karena konsumsi daging masih rendah 2,56 kg/tahun/capita. Kita tidak mungkin bersaing dengan Australia dalam peternakan sapi.Yang terpopuler menjelang Lebaran, bagian daging sapi yang disebut rump dan knuckle. Lebih baik swasta dibolehkan impor daging sapi seperti 2014. Meski ada larangan, peternak cenderung memotong sapi betina saat bulan puasa sampai Lebaran; dan memotong sapi jantan saat idul Adha.
Safik (menggantikan Dr. Ir. Mushdalifah Machmud, MT. Deputi Kemenko)
Mulai Nopember 2015 semua Kementerian mengacu 1 data yaitu data BPS. Perkiraan Neraca Daging Sapi Nasional.Konsumsi per kapita/tahun, 2,56 kg 2015, 2,52 kg 2016.Daging, tetelan, tulang.
Pembahas :
Dr. Enny Sri Hartati
Bicara pangan, harga bukan masalah utama. Daging bukan merupakan kebutuhan sehari-hari bagi sebagian penduduk. Persoalan daging sapi yang bukan makanan utama sehari-hari saja pemerintah tidak bisa mengatasi masalah. Perdagangan pangan global tidak lebih 20% dan daging sapi termasuk didalamnya. Mengapa kita tidak bisa swa sembada pangan ? Program peternakan sapi di Jawa Timur relatif sukses. Contohnya di Sidodadi.
Teori ekonomi, kalau ada insentif harga akan memicu produksi. Untuk menaikkan bobot 1 kg sapi perlu pakan RP 35.000,-. Jadi harga pakan sapi sangat mahal. Harga mencerminkan supply dan demand; tidak bisa bohong. Benarkah pemerintah hadir dalam tata niaga pangan; termasuk daging sapi ?.80% bahan mentah kulit diimpor, 70% bahan mentah susu diimpor. Kalau tidak salah urus peternakan. Hanya impor daging bekuan saja yang bisa dilakukan. Untuk penggemukan butuh waktu 4 bulan.
Slide foto - foto selama acara |
NOMagz.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar