Diskusi
Perspektif Indonesia
Perspektif Indonesia
Para Menteri Bertikai,
Apa Langkah Presiden Jokowi?"
Apa Langkah Presiden Jokowi?"
Sabtu, 05 Maret 2016
Tempat :
GADO-GADO BOPLO, Jl. Gereja Theresia No. 41, Menteng - Jakarta Pusat.
Ibarat parlemen, para pembantu presiden berbeda pendapat dihadapan publik. Pasti ada pihak yang benar, dan ada yang salah dalam debat diluar ruang rapat kabinet tersebut. Bagaimana selayaknya presiden menangani masalah ini? Bagaimana seharusnya para menteri melaksanakan fungsinya?
Bersama :
- Andreas Pereira (Ketua DPP PDI Perjuangan)
- Madrial Alamsyah (Pengamat Kebijakan Publik)
- Prof. Dr. Djohermansyah Djohan (Mantan Dirjen Otda Kemendagri, Mantan Deputi Bidang Politik Wapres)
- Dr. Erwan Agus Purwanto (Dekan Fisipol UGM)
Ichan Loulembah (Host)
Penyelenggara :
- Populi Center
- Smart FM Network
Ulasan redaksi :
Andreas Pereira
Kegaduhan bukan dinamika lagi sebab - terjadi antar menteri yang dulu disebut profesional saat pembentukan kabinet; - kejadian ini membuat masyarakat memperhatikan dan membuat Jokowi tidak merasa nyaman; - pernyataan saja tidak memadai namun perlu tindakan. Harus mengambil substansi kegaduhan agar jangan sampai kegaduhan selesai begitu saja. Harus dicari substansi yang benar dan yang salah. Para pihak masing-masing yakin benar sikapnya tanpa mengabaikan cara penyampaiannya.
Presiden perlu menginstruksi menteri yang terlibat kegaduhan untuk diam atau keluar dari kabinet. Tampak ada menteri yang ngotot berlebihan, jangan-jangan ada orang/aktor dibelakang layar yang tidak kelihatan yang mengatur kegaduhan ini. PDIP sudah menyampaikan rekomendasi, memberi dukungan dan sekaligus mengawal kabinet Jokowi. Bahkan DPR pernah memberikan rekomendasi kepada presiden untuk mengganti Rini Soemarno. Presiden sibuk bekerja para menteri yang menteri mencari panggung. Ibarat memelihara macan.
Menteri diinstruksikan fokus pada pekerjaannya agar tidak merusak sinyal positif presiden. Biaya kegaduhan terlalu besar perlu penyelesaian supaya tidak menular. Kalau antar anggota DPR gaduh itu biasa; tapi kegaduhan di kabinet presidensial itu tidak biasa.
Prof. Dr. Djohermansyah Djohan
Pada jaman SBY menjadi presiden juga ada kejadian diantara menteri yang silang pendapat dan merasa sakit hati dan tidak terima tetapi tidak sampai terbuka ke publik. Menkolah yang memisahkan dan mendamaikannya. Pada sistem kabinet presidensial, perselisihan diselesaikan di sidang kabinet dan tidak bocor ke publik; sehingga kabinet tetap solid.
Perbedaan pendapat lumrah dan diselesaikan secara administratif. Jadi ada code of conduct. Jaman SBY, selesai rapat kabinet, presiden memberi arahan kepada menteri. Kalau kegaduhan antar menteri dibiarkan hal ini bisa menggerus kewibawaan presiden. Aktor-aktor yang 'genit' dan tidak paham pemerintahan serta tidak tahu etika. Perlu diingat menteri itu bukan pejabat tinggi biasa.
Dr. Erwan Agus Purwanto
Perdebatan hal yang sehat kalau tujuannya untuk mengambil keputusan yang baik. Tapi tidak disampaikan ke publik.
Ada tiga mekanisme :
A) aspek manajerial
B) aspek kepemimpinan presiden
C) fatsun/kepantasan.
Menteri adalah pembantu presiden dan menjadi panutan masyarakat. Menteri yang berlatar profesional terlalu self confident sehingga lugas menyatakan pendapatnya ke publik. Sekretariat Negara, Sekretaris Kabinet, Kepala Staf Kepresidenan bisa diberi kewenangan untuk mengatasi kegaduhan diantara menteri; tidak perlu selalu presiden yang bertindak. Jangan sampai kita terkesan lebih liberal dibanding negara liberal lain sehingga anarkis.
Di USA presidenlah yang punya panggung bukan menteri. Di Indonesia menteri berebut panggung. Perlu penataan ulang. Perlu adanya sinergi seluruh kementerian untuk menjaga stabilitas politik dan ekonomi. Saatnya bagi kepemimpinan presiden untuk mengambil keputusan agar kabinet kondusif dan produktif. Tugas presiden mengambil keputusan (action) dan tidak ragu-ragu. Perlu ada ultimatum dan teguran kepada menteri yang menimbulkan kegaduhan.
Madrial Alamsyah
Menteri bukan pejabat biasa sehingga sikap dan perilakunya juga tidak biasa. Ada menteri yang tidak menyadari posisinya dan suka bertindak over acting. Padahal ada tupoksinya. Misal ada menteri yang berjanji akan mengangkat pegawai honorer menjadi Pegawai Negeri Sipil. Visi presiden menjadi titik tolak yang ingin dicapai ada dokumen perencanaannya. Jadi visi terlihat secara fisik.
Saat ini kegaduhan terjadi baik di DPR, partai politik, serta kabinet. Birokrasi kita masih sangat politis. Ada ketidakjelasan koordinasi dan fungsi antar Sekretariat Negara, Sekretaris Kabinet, Kepala Staf Kepresidenan. Figur-figur yang didudukan disana harus orang yang berwibawa. Presiden harus tegas, sehingga ada satu visi. Wapres bisa diminta mendamaikan menteri yang gaduh. Di kabinet sekarang tidak ada figur yang berwibawa sekelas Moerdiono atau Solihin GP (Sekdalobang).
Kalau terjadi penggantian menteri harus yang kompeten, berwibawa, punya postur akademik. Birokratis politik perlu diminimalkan. Presiden perlu memberi contoh yang baik agar kabinet bervisi tunggal.
NOMagz.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar