klik gambar untuk memperbesar
Press Release :
Kejaksaan Sebagai Pengendali Perkara” Kasus salah tangkap yang menimpa seorang tukang ojek, Dedi beberapa waktu menjadi sorotan tersendiri. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa hal tersebut dapat terjadi hingga masuk proses persidangan? Selain kasus Dedi, masih banyak kasus-kasus lainnya yang sebenarnya tidak layak sidang. Dalam sistem peradilan pidana, Kejaksaan memiliki peran yang sangat sentral, dimana Kejaksaan berperan mulai dari hulu hingga hilir penangan suatu perkara pidana. Karenanya, Jaksa dianggap sebagai Pengendali Perkara atau Dominus Litis. Kedudukannya sebagai pengendali perkara ini semakin terlihat pada keputusan untuk melanjutkan perkara ke tahap persidangan atau tidak merupakan wewenang penuh dari Jaksa. Akan tetapi, peran Jaksa sebagai Pengendali Perkara saat ini telah direduksi, khususnya semenjak KUHAP dibentuk.
Menurut Jan S. Maringka, konsep diferensiasi fungsional yang dianut dalam KUHAP membatasi Kejaksaan untuk terlibat lebih lanjut dalam proses awal penganan suatu perkara atau penyidikan yang sekarang dipegang oleh Kepolisian. Padahal keterlibatan Jaksa semenjak awal proses penanganan perkara sangatlah dibutuhkan. Lebih lanjut, menurut Jan S. Maringka, dalam ketentuan PBB bahwa Jaksa bertanggungjawab dari awal penyidikan hingga Eksekusi.
Konsep diferensiasi fungsional tersebut berimbas pada kualitas dari surat dakwaan dan tuntutan yang disusun oleh Jaksa guna dibawa ke persidangan. Terbukti ada 5 perkara yang diputus bebas oleh Mahkamah Agung dikarenakan alat bukti yang dianggap tidak cukup atau adanya cacat prosedural berupa penyiksaan yang dilakukan oleh kepolisian guna mendapatkan alat bukti. Selain itu, menurut Erna Ratnaningsih, Komisi Kejaksaan telah menerima sekitar 1800 laporan kasus yang melibatkan Jaksa terkait lamanya proses penanganan perkara serta adanya petunjuk yang berlebihan. Tentunya hal tersebut semakin mempertegas bahwa konsep diferensiasi fungsional tersebut menghambat Jaksa dalam menyusun surat dakwaan dan Tuntutan yang berkualitas.
Di dalam KUHAP sekarang, wewenang Jaksa sebagai Pengendali perkara terbatas pada saat proses Pra-Penuntutan. Menurut Adery Ardhan, Undang-Undang Kejaksaan memungkinkan Jaksa untuk melakukan pemeriksaan tambahan dalam hal adanya kekurangan pada suatu berkas. Akan tetapi, wewenang tersebut sering dianggap tidak mengikat aparat penegak hukum yang lainnya seperti Kepolisian dikarenakan hanya diatur dalam Undnag-Undang Kejaksaan. Bahkan, pada tahun 1997 dalam kasus Beng Seng, Jaksa yang melakukan pemeriksaan tambahan justru dikriminalisasi oleh Polisi karena dianggap melakukan pemalsuan berita acara pemeriksaan. Tentunya hal ini menjadi preseden buruk bagi Kejaksaan untuk melaksanakan wewenangnya kedepan. Terbukti, menurut Adery Ardhan hingga saat ini wewenang pemeriksaan tambahan belum pernah dilakukan semenjak kasus kriminalisasi tersebut.
Konsep R-KUHAP saat ini lebih mengakomodir fungsi dan wewenang Kejaksaan sebagai pengendali perkara. Dalam RKUHAP Kejaksaan dapat mengontrol penyidikan yang dilakukan oleh penyidik, penyidik ketika melakukan pengajuan permohonan ke HPP harus melalui Jaksa penuntut umum, sehingga JPU akan mengetahui penydikan yang dilakukan penyidik. Selain, itu, ada kewenangan penuntut umum di R-KUHAP untuk melakukanplea bargain maupun penentuan pelaku yang bekerja sama (justice collabolator) memperkuat bahwa JPU merupakan pengendali perkara di setiap tahapan.
Atas dasar itu, maka Komite Pembaruan Hukum Acara Pidana merekomendasikan agar:
- Kejaksaan lebih memaksimalkan fungsinya sebagai Pengendali Perkara / Dominus Litis.
- Kejaksaan berani untuk melakukan melakukan Pemeriksaan Tambahan terhadap perkara-perkara yang tidak jelas
- R-KUHAP menjadi prioritas pembahasan oleh DPR guna memperbaiki sistem peradilan pidana.
* Koalisi Untuk Pembaharuan Hukum Acara Pidana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar