Pembukaan dan Peresmian
Diskusi Panel Serial
"Nilai Keindonesiaan”
Waktu :
Sabtu, 01 Agustus 2015
Tempat :
Sultan Hotel, Ballroom A, Jl. Gatot Subroto, Jakarta, 10270
Laporan :
Pontjo Sutowo
Penjelasan :
Dr. Daoed Joesoef
Keynote Speech :
Dr. Anies Baswedan
Penyelenggara :
Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB)
Diskusi ini merupakan Seri Pertama dari serial diskusi “Membangun Budaya Bangsa dan Nilai Keindonesiaan Demi Masa Depan Bangsa”, yang akan berlangsung dari bulan Agustus 2015 s/d November 2016.
Slide foto-foto selama acara |
VIDEO ACARA :
https://youtu.be/yB7RKl2XwYk
Polemik Kebudayaan - Daoed Joesoef :
Polemik Kebudayaan
Daoed Joesoef
"Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah' usaha budi daya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli, yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan, budaya, dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia".
Penjelasan UUD '45
BERDASARKAN bunyi penjelasan yang seperti ini kiranya dapat dikatakan bahwa pengertian UUD '45 tentang kebudayaan Indonesia sama sekali tidak sekacau seperti yang dinyatakan oleh Prof. S. Takdir Alisjahbana.
Pengertian tersebut tidak kacau, karena ia jelas mengatakan ke arah mana usaha kebudayaan itu harus kita kembangkan, untuk apa usaha itu dilakukan, dan di mana sumber bahan-bahan kebudayaan itu harus dicari. Dan dengan tegas mengatakan bahwa sumber itu dapat saja berupa kebudayaan asing, pengertian kebudayaan dari UUD '45 ini tidak hanya tidak kacau, tetapi bahkan lebih-lebih, tidak picik. Sebab, ia tegas memungkinkan adanya akulturasi, yang pasti diperlukan oleh modernisasi yang begitu didambakan oleh Prof. S. Takdir Alisjahbana.
Bila bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang positif — atau akulturasi — tidak ditolak, maka secara implisit berarti bahwa UUD '45 menghendaki kita tidak hanya sebagai pengemban kebudayaan, tetapi juga, dan lebih-lebih, menjadi pengolah kebudayaan.
Bila demikian, kalaupun Prof. S. Takdir Alisjahbana melihat adanya kesimpangsiuran pikiran tentang kebudayaan, yang harus dilakukan sekarang ini pasti bukan polemik kebudayaan, tetapi penelitian kebudayaan. Sebab, sebagai pengolah kebudayaan kita harus meneliti nilai-nilai mana yang telah memungkinkan kita selamat (survive) dari dahulu hingga sekarang, dan nilai-nilai mana yang dapat membuat kita maju (progress) di hari-hari mendatang, baik yang dikandung oleh kebudayaan lama dan asli kita sendiri maupun yang terdapat di dalam kebudayaan asing.
Penelitian seperti ini sesuai dengan sikap universal manusia, yang selalu mencari masa lalu sistem nilainya sendiri dan sekaligus masa depan sistem nilai tersebut. Bagimana mungkin kita dapat mengenal yang baru bila yang lama saja tidak kita pahami dengan baik. Bahkan, pada hemat saya, kesenian rakyat tradisional tidak hanya merupakan masa lalu kita, tetapi juga masa depan kita. Ia pasti dapat dijadikan sumber ilham bagi para seniman Indonesia dalam usaha mereka membuat ciptaan-ciptaan baru. Bukankah hal ini benar yang dilakukan Bagong Kussudiardjo di bidang seni tari, dan oleh banyak pelukis, pemahat, serta komposer di bidang seni yang digeluti oleh mereka masing-masing.
Dalam karya-karya modern mereka ini jelas terbayang gerak-gerik, garis serta warna, pola serta bentuk dan nada-nada kerakyatan klasik kita. Bahwa dalam menilai karya ciptaan Bagong, misalnya, golongan Jawa terpecah dua, tidak perlu dirisaukan begitu rupa sehingga perlu "dipolemikkan". Sikap seperti itu dapat dikatakan wajar karena di mana pun di dunia ini, setiap waktu ada saja orang-orang yang sepanjang hidupnya selalu bernostalgia pada masa kanak-kanaknya dan, pada waktu yang sama, ada pula orang-orang yang menganggap setiap masa lalu hanya merupakan anyaman pengalaman kuno yang harus segera ditanggalkan.
Sebagai makhluk manusia yang kini mengelompok menjadi satu bangsa kita mempunyai satu masa lalu yang pantas dibanggakan. Mungkin sebagai satu negara modern kita relatif muda, tetapi sebagai satu bangsa yang dalam proses pendewasaan diri terus-menerus, kita mempunyai sejarah yang jauh lebih tua. Akhir-akhir ini memang ada semacam "mode" untuk menertawakan masa lalu dengan segala tradisi dan lembaganya. Masa lalu dianggap "kuno" dan disingkirkan sebagai hal yang cacat. Apa yang sudah lama ada dituding "korup" dan diperlakukan sebagai "lepra".
Kita seharusnya berusaha memanfaatkan warisan nenek moyang. Dahulu mereka itu, apakah berasal dari Adam dan Hawa atau produk dari evolusi kehidupan akuatik, pasti telah menempuh suatu kehidupan yang sangat berat. Walaupun mereka kemudian berhasil belajar sendiri membuat tempat berlindung dan membuat makanan, sebagai manusia awal mereka pasti tidak mempunyai keluarga atau pendahulu yang dapat ditanya, dicontoh, dan ditiru.
Dengan perkataan lain, apa yang ketika itu tidak mereka miliki adalah suatu masa lalu. Ketika itu, tidak ada buku sejarah yang dapat mengatakan kepada mereka bagaimana hidup dan kehidupan orang-orang sebelum mereka, tidak ada seni dan sastra, tidak ada falsafah, tidak ada konsep yang seragam mengenai waktu.
Mungkin karena kurang menyadari hal ini, maka masyarakat masa kini cenderung untuk "main buang", untuk mencedera begitu saja kebiasaan, tradisi, dan lembaga-lembaga aslinya. Namun, perbuatan yang begitu kiranya sama saja dengan membantah dasar awal yang begitu mendasar dari kehidupannya sendiri.
Mempertentangkan zaman Indonesia dengan zaman pra-lndonesia, menurut analogi yang dibuat oleh umat Islam mengenai zaman Islam dan zaman Jahiliah, kiranya juga tidak tepat. Kalau istilah pertentangan ini ditempa semata-mata untuk keperluan ketajaman penalaran analitis mungkin masih dapat dibenarkan. Namun, kalau ia dimaksudkan sebagai suatu garis pemisah antara kurun waktu yang serba asli-Indonesia dan serba bukan-Indonesia sulit untuk diterima.
Sejauh yang mengenai keislaman pemisah tersebut correct, karena ia memang membedakan dua situasi kehidupan religius yang secara hakiki berlawanan: yang Jahiliah mengenai suatu sistem keanekaragaman Tuhan yang diciptakan oleh pikiran manusia, sedangkan yang Islam menegaskan sistem keesaan Tuhan yang diwahyukan oleh Tuhan sendiri.
Negara-Bangsa sebagaimana yang tercermin pada sebutan "Indonesia" adalah suatu pikiran konseptual rumusan manusia yang sudah terlatih untuk berpikir abstrak. Berhubung dengan itu ia dapat dikatakan merupakan pertanda adanya kemajuan, sesedikitnya kemajuan berpikir. Sebagai kemajuan ia dalam dirinya merupakan suatu proses yang berkesinambungan.
Dalam proses yang begini secara real tidak mungkin ditetapkan patok pemisah yang menandakan akhir dari sesuatu dan permulaan dari yang lain. Sampai sekarang pun pikiran konseptual mengenai negara nasional masih terus berkembang: di awal perkembangannya dahulu (abad ke-19) orang tidak hanya membedakan, tetapi juga memisahkan, pengertian "Negara" dan pengertian "Bangsa"; dewasa ini kedua pengertian itu dipersatukan sehingga menjadi "Negara-Bangsa".
Dalam proses perkembangan kemajuan pikiran konseptual ini memang selalu tampil ke permukaan tema dialektika tentang kemajuan yang tetap setia pada hakikatnya sendiri dan penolakan terhadap sinonimi serta keterbatasan bentuk-bentuk positivisme yang biasa menyelubunginya. Tema dialektika yang bernada begini lebih-lebih menonjol di kalangan cendekiawan pribumi di tanah jajahan seperti yang jelas diutarakan oleh Prof. S. Takdir Alisjahbana dalam tulisannya mengenai bunyi beberapa makalah yang dibahas dalam "Permusyawaratan Perguruan Indonesia" di Solo tanggal 8-10 Juni 1935. Harus diakui bahwa tema ini sampai sekarang tetap tergolong yang tersulit dari semua dialektika. Maka itu, ada saja militan dan cendekiawan yang mengetengahkan keaslian tanpa masa depan atau mengusulkan modernisme tanpa akar.
Menurut saya, keliru mengaitkan keaslian Indonesia semata-mata dengan harapan masa depan dan lebih keliru bila harapan masa depan itu adalah "Barat" semata-mata. Namun, keliru pula mempersamakan keaslian Indonesia dengan langkah kembali ke masa lalu dan lebih keliru lagi dengan mengeramatkan masa lalu itu sendiri. Kebenaran tetap kebenaran di mana pun ia muncul. Bila kebenaran itu diumpamakan kilat, dengan meminjam ucapan mutiara dari Al-Kindi, kiranya dapat dikatakan bahwa yang penting bukanlah tempat di mana kilat itu berdenyar, tetapi kilat itu sendiri.
Berhubung dengan itu, lagi-lagi, yang harus kita lakukan dewasa ini adalah penelitian kebudayaan yang terpadu. Tambahan lagi, asas penuntun bagi pelaksanaan penelitian ini juga sudah jelas, yaitu Pancasila, yang kini sudah diterima oleh para wakil rakyat sebagai satu-satunya asas berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Pancasila mengandung kriteria tertentu, metode-metode tertentu untuk menanggapi. Hal ini menuntun kita untuk membuat penilaian-penilaian tertentu tentang gejala-gejala, untuk merumuskan ramalan-ramalan dan anjuran-anjuran tertentu mengenai tindakan-tindakan praktis. Ia mengajar kita suatu kombinasi antara berpikir dan intervensi aktif sebagai cara menangani kenyataan sejauh intervensi sosial memang memungkinkan penanganan hal tersebut. 'Ia adalah satu pikiran konseptual, kalaupun bukan doktrin, yang mengkritik tingkah laku manusia dan pada gilirannya mengharapkan pula dikritik olehnya.
Hasil penelitian kebudayaan ini pasti diperlukan bagi perumusan sistem pendidikan nasional, lebih-lebih bila kita sadari bahwa pendidikan adalah bagian dari kebudayaan dan bahwa menjelang makhluk manusia memasuki abad ke-21 yang semakin mendekat itu, saya ulangi lagi untuk kesekian kalinya, bagi manusia individual kebudayaan sekaligus adalah pengetahuan, pilihan hidup, dan praktek komunikasi.
Kericuhan dan kesimpangsiuran gagasan tentang pendidikan dewasa ini, sebagaimana yang dipantau pula oleh Prof. S. Takdir Alisjahbana, bukanlah karena tidak adanya "polemik kebudayaan", tetapi karena tidak adanya keberanian politik dan keteguhan moral nasional dari pihak penguasa untuk menegakkan satu sistem pendidikan nasional seperti yang dituntut oleh UUD '45. Akibatnya, perdebatan yang ada hanya meributkan masalah-masalah marginal yang pemecahannya, kalaupun dapat dirumuskan? Pasti tidak pernah akan pas. Tidak pernah pas karena pemecahan itu selalu dapat dipersoalkan kembali dari sudut apa pun, berhubung ia tidak mempunyai suatu kerangka acuan tunggal, berupa suatu gambaran bangunan pendidikan yang menyeluruh, sebagai rasionale perumusannya.
Tempo, 14 Juni 1986
Beda Kebudayaan dengan Peradaban :
Peradaban
Oleh: Daoed Joesoef
Oleh: Daoed Joesoef
ORANG sering mengacaukan pengertian "kebudayaan" dan "peradaban". Kerancuan ini berpeluang terjadi karena kedua istilah tersebut mewakili konsep yang sama, yaitu sistem nilai yang dihayati manusia dalam berkehidupan manusia, hingga kebiasaan turut memengaruhi penggunaannya.
Jangankan orang awam, para ilmuwan pun kerap tidak membedakan pengertian kedua istilah tadi dan memakai kedua-duanya secara bergantian. Sejarawan Arnold Toynbee, misalnya, memberikan judul karyanya yang monumental, Civilization on Trial, bukan "Culture on Trial". Namun, ketika dalam karyanya ini dia membahas peradaban China, dia jelas menggunakan istilah civilization, meliputi baik "peradaban" maupun "budaya".
Konsep pembudidayaan
Demi memupus kerancuan, para pemikir Jerman pada abad XIX telah mengetengahkan suatu solusi. Walaupun "kultur" (kebudayaan) dan "zivilisation" (peradaban) sama-sama menggambarkan perkembangan dan kemajuan manusia, "budaya" mengacu pada aspek spiritual dari kehidupan manusia, sedangkan "peradaban" merujuk pada aspek teknologisnya.
Dengan begitu, mereka berkesimpulan: istilah "budaya" meliputi bahasa, ilmu pengetahuan, agama, pendidikan, dan seni/kiat/keterampilan (arts) sebagai faktor-faktor pengembang pikiran manusia. Sementara "peradaban" adalah istilah konseptual yang terkait secara integral pada industri, teknologi, ekonomi (dalam artian kegiatan), dan hukum (dalam artian peraturan perundang-undangan), yang dibina untuk mengontrol alam agar memenuhi kebutuhan manusia.
Apabila demikian kita bisa saja menulis "Sejarah Kebudayaan Nusantara" di samping "Sejarah Peradaban Nusantara" selama dan sejauh kita membahas aspek-aspek yang berbeda dari kehidupan manusia-manusia di bumi Nusantara ketika itu. Jadi apabila kita menerima distingsi antara istilah kebudayaan dan peradaban, kita anggap masing-masing mewakili pandangan yang berbeda tentang fenomena yang sama, di mana kebudayaan berpembawaan deskriptif, sementara peradaban valuatif.
Asal-usul linguistik dari kedua istilah ini (di Barat) turut membantu pemahaman kita mengenai makna kedua istilah tadi. Culture berakar kata sama dengan cultivation yang berarti "menumbuhkan" (growing) atau "pembudidayaan" (cultivation). Sementara civilization berasal dari kata "civic" dan "civil" yang berkaitan dengan "city" (kota) dan "citizen" dalam arti "warga kota" dan di tahap selanjutnya "warganegara" (berhubung "city-state" berkembang menjadi "nation-state").
Kota/negara dan warganya menggambarkan tahap pembudidayaan yang maju atau wujud keberhasilannya. Makhluk hewan survive dengan mematuhi hukum-hukum alam. Hanya manusia yang membudidayakan alam. Maka, pembudidayaan atau budaya menggambarkan hubungan yang spesifik antara manusia dan alam.
Jika demikian, baik manusia primitif maupun modern sama-sama berorientasi budaya, culture oriented. Perbedaan antara masyarakat primitif dan masyarakat modern hanya dalam karakteristik kebudayaannya masing-masing. Kedua masyarakat tersebut dapat dievaluasi melalui ekstensi dan kualitas dari pembudidayaan masing-masing.
Jadi, dari sudut pandang ini, masyarakat human dapat dibedakan satu dengan yang lain. Peradaban adalah suatu pendekatan konsep pembudidayaan, yaitu budaya yang berkembang ke satu tingkat tertentu. Berarti, budaya perlu berkembang atau dengan sadar dikembangkan hingga ke satu tingkat tertentu untuk bisa dikualifikasi sebagai peradaban. Hal ini ditegaskan sekali oleh Park Ynhui, guru besar filosofi dari Pohang University of Science and Technology.
Kongres kebudayaan?
Berhubung sejarah kebudayaan manusia berkembang dari suatu keadaan primitif, sejarah makhluk manusia kiranya perlu dianggap sebagai sejarah dari kebudayaan dan bukan sejarah dari peradaban. Namun, harus diakui bahwa di satu titik pada tahap peralihan perkembangan, kelihatan menonjol sekali nilai-nilai serupa pada kebudayaan dan peradaban yang bisa dan sudah membingungkan tanggapan pemerhati. Nilai adalah "genus" dari semua "spesies" yang tercakup dalam pengertian kebudayaan (industri, teknologi, dan lain-lain).
Nilai adalah segala sesuatu yang kita pakai sebagai standar dalam menimbang (judgement) dan/atau yang bernilai itu sendiri (bernilai intrinsik), yang sebagian besar berupa hal yang nirwujud (intangible), seperti ide dan ilmu pengetahuan. Walaupun begitu, ia, pada hakikatnya, bukan merupakan aturan (rules), melainkan iluminasi yang begitu mendalam hingga di bawah sorotan pencerahannya menjadi begitu tajam terpampang batas-batas antara adil dan tak adil, baik dan buruk, alat (means) dan tujuan (ends).
Kongres kebudayaan yang menghabiskan begitu banyak waktu, energi, dan biaya, seharusnya membahas aspek dan faktor penentu dalam perkembangan (nilai) kebudayaan ke arah (nilai) peradaban yang begitu kompleks. Dalam perkembangan itu, sejarah human mengingatkan kita bahwa kebudayaan menjadi nilai-nilai yang masih melekat dalam pikiran (ingatan) dan masih hidup dalam perbuatan, jika yang lain-lain telah dilupakan. Yang dilupakan ini seharusnya hilang bukan karena dibuang di tong sampah atau dikubur dalam-dalam, tetapi karena menyatu dalam nilai/bentuk baru (peradaban), bagai garam yang cair dalam makanan atau local genius luluh dalam kearifan nasional atau fisika klasik lebur dalam fisika modern.
Kompleksitas ini berarti bahwa kongres kebudayaan harus bisa melibatkan sebanyak mungkin pemangku kepentingan yang berasal dari berbagai vokasi, profesi, dan disiplin, bukan hanya pejabat publik yang bertugas sekadar memberikan "pengarahan/petunjuk". Berhubung pembahasan ada kalanya bernada kritis, kritik ini pun perlu diketengahkan secara intelektual tanpa bersifat intelektualitas. Intelektual adalah persona yang pembawaannya berdimensi lima: (i) suatu aksi penghayatan vokasional/profesional yang berbobot budaya, (ii) suatu peran sosiopolitis, (iii) suatu kesadaran yang mengacu ke universalitas, (iv) suatu pembangkangan yang bertanggung jawab, dan (v) suatu pancaran nurani yang bersih dan murni.
Hanya dengan berpembawaan intelektual demikian, para peserta kongres kebudayaan bisa kiranya mencegah dirinya tidak menjadi berupa sendok. A spoon does not know the taste of soup, nor a learned fool the taste of wisdom.
Daoed Joesoef, Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002754450
www.NOMagz.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar