Diskusi Politik:
“Membahas Arsitektur
Kabinet Jokowi”
Waktu :
Selasa, 30 September 2014, 19.00 – 21.00 WIB
Tempat :
Ballroom Wisma Proklamasi, Jalan Proklamasi No. 41 Jakarta
Pembicara :
- Philips J. Vormonte, Ketua Departemen Politik & Hubungan Internasional Centre for Strategic and International Studies (CSIS)
- Ulil Abshar Abdalla, Ketua Departemen Kajian & Kebijakan Partai Demokrat
- Wandy N. Tuturoong, Pokja Lembaga Kepresidenan Tim Transisi JKW-JK
Budi Adiputro (Youth Freedom Network)
Penyelenggara:
Freedom Institute – FNF Indonesia
PENDAHULUAN :
Arsitektur Kabinet Jokowi
Pada tanggal 15 September lalu, Joko Widodo atau lebih dikenal dengan nama Jokowi, Presiden terpilih pada Pilpres 2014, telah mengumumkan arsitektur kabinet yang akan dipimpinnya. Pertanyaannya, Bagaimana kita menyikapi postur kabinet Jokowi ini?
Inilah pertanyaan yang paling menyibukkan publik kita saat ini. Dalam kampanye Pilpres kemarin, Jokowi membuat sejumlah komitmen yang “appealing” atau menarik bagi masyarakat sipil yang merupakan basis pendukung dia, terutama masyarakat sipil perkotaan. Misalnya: Jokowi berjanji akan merancang kabinet profesional dengan komposisi yang didominasi kalangan profesional. Dia juga berjanji untuk membuat struktur kabinet yang ramping. Koalisi yang ia bangun juga koalisi yang “tanpa syarat”. Maksudnya, tanpa syarat bagi-bagi kursi kabinet.
Jokowi juga, dan ini menarik, membuka usulan nama-nama menteri dari publik. Ini adalah tindakan yang tanpa preseden dalam sejarah politik kita. Sejumlah kalangan dalam masyarakat sipil membuat inisiatif untuk menyusun daftar figur yang dianggap layak untuk menduduki pos-pos tertentu. Salah satunya adalah usulan yang dibuat oleh tim relawan Jokowi, atau media online seperti Detik.com.
Perkembangan semacam ini membawa janji segar bagi publik: bahwa Jokowi akan memulai tradisi “baru” dalam penyusunan kabinet. Tentu saja ini adalah hal yang sangat positif. Tetapi pertanyaannya: Apakah janji-janji ini akan terpenuhi? Bisa tidak politik yang ia bangun “koalisi tanpa syarat” ini berjalan? Bagaimana strategi Jokowi dalam pembagian kekuasaan (power sharing) di antara para pendukungnya? Bagaimana strategi pemerintahannya berhubungan dengan pihak legislatif yang dikuasai oleh koalisi lawan politiknya?
Nah, pertanyaan-pertanyaan inilah yang dikupas dalam Diskusi Politik Freedom Institute kerja sama dengan FNF Indonesia.
ULASAN :
Jakarta –
Baru-baru ini pasangan presiden terpilih, Jokowi-JK mengumumkan
komposisi struktur kabinetnya yang menyatakan porsi 18 menteri yang akan
diisi oleh profesional dan 16 menteri berasal dari professional-partai
dan dengan jumlah kementerian sebanyak 34, sama jumlahnya seperti
pemerintahan SBY. Kenyataan tersebut membuat masyarakat bertanya-tanya
tentang janji Jokowi yang pada saat kampanye, jika terpilih sebagai
presiden akan membangun kabinetnya secara professional, tanpa syarat
serta membangun kabinet yang ramping. Namun sebagian besar publik
menilai angka komposisi kabinet Jokowi tidak sejalan dengan
janji-janjinya pada saat kampanye.
Demikianlah
topik diskusi yang diselenggarakan pada Selasa, 30 September 2014 di
Ballroom Wisma Proklamasi oleh Freedom Institute dengan FNF Indonesia
dengan judul “Membahas Arsitektur Kabinet Jokowi-JK” dengan mengundang
narasumber diantaranya Philips Vermonte (Peneliti CSIS), Ulil Abshar
Abdhalla (Ketua Department Kajian dan Kebijakan DPP Partai Demokrat) dan
Wandy Tuturoong atau Binyo (Pokja Lembaga Kepresidenan Tim Transisi
JKW-JK).
Philips, selaku narasumber pertama menjelaskan tentang realitas politik Indonesia yang menganut kombinasi sistem presidensialisme-multipartai
yang memiliki komplikasi yang cukup berat, selain memiliki tugas untuk
menjalankan pemerintahan, eksekutif juga memiliki kewajiban untuk
mendamaikan diri dengan parlemen guna memperlancar arah kebijakannya,
sehingga tak heran apabila dalam 10 tahun pemerintahan, SBY membangun maximum-winning coalition yakni
dengan merangkul banyak partai politik dalam membangun susunan
kabinetnya. Hal berbeda coba dilakukan oleh presiden terpilih, Jokowi
guna membangun minimum-winning coalition. Namun nampaknya upaya Jokowi untuk membangun minimum-winning coalition menuai jalan terjal berupa tantangan di parlemen yang cukup berat.
Philips
menilai niatan Jokowi untuk membangun koalisi ramping adalah sesuatu
yang baik, menurutnya kekuasaan tidak seharusnya dibagi-bagi, biarkan
yang menang untuk menjalankan pemerintahan sedangkan yang kalah pemilu
sebagai pengontrol. Namun nampaknya idealisme yang dibangun Jokowi
berbenturan dengan realitas politik yang akhir-akhir ini semakin jauh
dari tradisi normatif politik. Misalnya perkembangan UU MD3 yang secara
pendekatan normatif seharusya partai yang menang pemilu akan menjadi
pimpinan DPR, tetapi setelah UU tersebut direvisi pemenang pemilu tidak
akan secara otomatis akan menjadi pimpinan DPR. Hal ini yang kemudian
membuat partai politik merasa tidak akan takut kalah dalam pemilu,
selama mampu mencapai parliamentary threshold (PT). Sehingga dalam revisi UU MD3 tidak ada lagi semacam punishment dan reward bagi partai politik. Logikanya adalah apabila partai politik gagal mencapai visi dan misinya maka rakyat akan memberikan punishment dengan
tidak memilihnya lagi di pemilu yang akan datang, begitupun sebaliknya.
Tetapi dengan direvisinya UU MD3 maka budaya tersebut sudah tak berlaku
lagi. Sehingga tidak penting menang atau kalah pemilu, karena pada
akhirnya yang menang pemilu pun juga tak otomatis akan menjadi pimpinan
DPR, asalkan lolos PT maka peluang untuk menjadi pimpinan DPR menjadi
seimbang.
Selain
itu, Philips mengatakan bahwa dinamika tantangan Jokowi setidaknya ada
dua, tantangan pertama yakni DPR yang terpolarisasi antara Koalisi Merah
Putih dengan Koalisi Indonesia Hebat, sehingga dalam parlemen akan
terjadi perdebatan dengan tensi tinggi, terlebih jumlah anggota Koalisi
Merah Putih di Parlemen jumlahnya lebih banyak sehingga bisa saja
parlemen menjadi gerakan oposisi yang kuat terhadap eksekutif. Hal ini
ditenggarai juga oleh kegagalan Jokowi dan PDIP dalam membangun
komunikasi politik dengan partai-partai lainnya dan tantangan kedua
adalah dukungan PDIP yang setengah hati mendukung Jokowi. Hal tersebut
terlihat dari lemahnya PDIP dalam membangun komunikasi politik dalam
memperkuat parlemen, bahkan PDIP sebagai partai pemenang pemilu justru
terlihat sangat defensive, padahal sebagai partai pemenang, PDIP seharusnya bisa lebih proaktif. “Mungkin
karena sudah kelamaan menjadi partai oposisi yakni 10 tahun, sehingga
tak tahu apa yang seharusnya diperbuat saat menjadi partai penguasa”
ujar Philips. Selain itu Jokowi diprediksi akan mengalami kesulitan
dalam membangun konsolidasi kekuasaannya selama 1-2 tahun ke depan.
Dalam
melihat kondisi kekinian, Philips menyarankan untuk dibuat
Undang-Undang tentang penetapan Undang-Undang. Yang dimaksudkan Philips
untuk menghindari terjadinya drama politik kepentingan guna menyongsong
periode berikutnya. Termasuk usul tentang tidak diijinkannya DPR
mengadakan rapat pembahasan UU setelah pemilu., kalaupun harus dibahas
maka biarkan DPR periode berikutnya yang membahasnya, hal ini penting
guna menghindari efek polarisasi pasca pemilu. Misalnya drama tentang
RUU Pilkada yang menurutnya sudah dibahas sejak beberapa tahun yang
lalu, dengan macam argumentasi yang berbeda-beda dengan finishing
yang tak selesai namun setelah pemilu 2014 justru RUU ini kembali di
perdebatkan dengan polarisasi yang terbentuk pasca pilpres. Partai yang
dulunya pro pilkada langsung secara tiba-tiba kini berubah menjadi
kontra hanya karena persoalan polarisasi dan dendam pasca pilpres,
sehingga perdebatan tak lagi menyangkut hal substansial tetapi lebih
pada perebutan kepentingan.
Narasumber
kedua, Ulil mengatakan bahwa harapan publik terhadap Jokowi sangat
besar, termasuk untuk menghapus budaya ologarki dan kartelisasi, seperti
yang dicoba untuk merampingkan kabinet dengan melibatkan sedikit
partai, Namun nampaknya upaya Jokowi tersebut akan berefek pada minimnya
dukungan parlemen, sehingga eksekutif di prediksi akan mengalami jalan
terjal, karena kurang mendapatkan dukungan parlemen, baik dari
hutung-hitungan matematis maupun dari hitung-hitungan legacy
pasca UU MD3 direvisi. Terkait dengan RUU Pilkada, Ulil, mewakili Partai
Demokrat menyatakan sikapnya dengan mendukung pilkada langsung dengan
sepuluh syarat, seperti yang diajukan di fraksi, namun Ulil menyayangkan
tentang fondasi argumentasi yang muncul di masyarakat bahwa persoalan
Pilkada langsung atau tidak langsung itu adalah persoalan Jokowi atau
Prabowo.
Ulil
memaparkan bahwa kecenderungan masyarakat tentang pilkada sebelum
Pemilu 2014 adalah mendukung pilkada tidak langsung, termasuk
rekomendasi MUNAS PBNU di Cirebon tahun 2012. Namun saat ini perdebatan
tentang pilkada langsung atau tidak langsung lebih mengarah pada Jokowi factor dan Prabowo factor,
sehingga perdebatan tak lagi menyangkut hal yang substansial. Dengan
polarisasi tersebut, Partai Demokrat hadir di tengah-tengah guna
mengurangi polarisasi yang berlebih dengan mendukung pilkada langsung
dengan sepuluh syarat, meskipun ide tersebut ditolak.
Narasumber
ketiga, Binyo, menyatakan bahwa Jokowi bisa mengelola pemerintahannya
secara jangka panjang dengan memperkuat lembaga kepresidenan dalam
fungsi legislasi. Hal ini penting guna memperkuat presiden di hadapan
parlemen. Hal tersebut dikarenakan fungsi legislasi yakni tentang
prolegnas yang diajukan dan dibacakan DPR di setiap tahunnya tetapi yang
berhasil disahkan kurang lebih hanya setengahnya dari target RUU yang
masuk dalam prolegnas. Berdasarkan pengalaman tersebut maka yang harus
diperkuat adalah fungsi legislasi di kantor kepresidenan, karena hal itu
yang selama ini harus diperkuat. Hal tersebut sesuai dengan realitas
politik yang terjadi seperti pertarungan parlemen yang bias pilpres.
Sehingga penguatan fungsi ini adalah perlu, karena antara eksekutif dan
legislatif akan adu kuat.
Selain itu yang hal harus diperkuat adalah melalui fungsi kontrol. “Sebetulnya
fungsi kontrol sudah dilakukan oleh pemerintahan SBY melalui UKP4,
namun fungsi tersebut terlihat seperti tak bekerja”, ujar Binyo.
Penguatan fungsi kontrol juga harus ada dalam lembaga kepresidenan untuk
menghindari tumpang tindih kementerian, sehingga tidak ada kementerian
yang bekerja sendiri-sendiri, tetapi harus dibawah kontrol presiden, dan
presiden harus didampingi oleh orang-orang yang berfikiran generalis.
Bukan berarti Jokowi ingin menghapus UKP4 tetapi harus ditambah
fungsinya, yakni fungsi partisipasi guna menerima aspirasi masyarakat
sipil (re: LSM).
Tantangan
Jokowi dalam masa kerjanya nanti bukan hanya bersifat teknis yang
menyangkut prioritas kerja di lapangan, tetapi Jokowi juga harus mampu
mendamaikan parlemen yang terpolarisasi pasca pilpres, ini yang kadang
dilupakan oleh PDIP sebagai partai pemenang pemilu yang gagal menjadi center of party
dalam parlemen, meskipun PDIP menang dalam pileg tetapi realitas di
gedung dewan PDIP tak lebih seperti raja tanpa mahkota, inilah efek dari
gagapnya komunikasi politik PDIP yang bisa saja berakibat fatal bagi
berlangsungnya pemerintahan kedepan.
Slide foto-foto selama acara |
VIDEO ACARA :
https://www.youtube.com/watch?v=n770rctCJU8
www.NOMagz.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar