Diskusi Institut Peradaban
"Tantangan Perekonomian
Rezim Jokowi-JK"
Waktu :
Rabu, 22 Oktober 2014 pkl 13:30
Tempat :
Wisma Intra Asia Jl Soepomo No. 58 Tebet Jaksel.
Pembicara:
- Prof. Dr. Didik J Rachbini (Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Mercu Buana)
- Dr. Ir. Arif Budimanta, M.Sc. (Direktur Mega Institut)
- Dr. Ir. H. Burhanuddin Abdullah, M.A. (Mantan Gubernur Bank Indonesia)
Ichsan Loulembah
Institut Peradaban (IP) kembali mengadakan diskusi bulanan. Kali ini tema yang diusung adalah "Tantangan Perekonomian Rezim Jokowi-JK".
ULASAN :
1. Tantangan Perekonomian
Rezim Jokowi-JK akan menghadapi tantangan perekonomian yang nyaris sama dengan tantangan yang dialami rezim sebelumnya dalam tiga tahun terakhir ini. Pertumbuhan ekonomi yang moderat, tekanan inflasi yang relatif berat , defisit APBN yang cenderung naik, defisit transaksi berjalan yang semakin besar, dan utang luar negeri swasta yang terus menumpuk merupakan tantangan-tantangan siklikal yang apabila berlanjut akan memperparah permasalahan struktural perekonomian kita seperti kemiskinan, kesenjangan pendapatan, dan pengangguran.
2. Defisit APBN
Segera setelah dilantik,JOKOWI-JK akan langsung dihadapkan pada kenyataan pertumbuhan ekonomi yang melambat dengan tekanan inflasi yang cukup berat. Kedaan akan makin diperberat oleh kelangkaan persediaan solar dan premium menjelang akhir tahun, Karena defisit APBN semakin melebar, tidak banyak waktu untuk Jokowi -JK untuk menikmati honey moon. Pemerintah harus segera melakukan langkah-langkah drastik. Terutama karena tahun depan, risiko yang akan dihadapi cukup menantang. Risiko kemungkinan pembalikan arus modal karena kebijakan the Fed, peningkatan ekspektasi inflasi karena kebijakan harga energi, perlambatan PDB dunia yang akan mengakibatkan perlambatan PDB Indonesia dengan segala implikasinya, dan risiko berlanjutnya penurunan harga komoditas, akan sangat berpengaruh pada stabilitas ekonomi domestik (inflasi) dan stabilitas eksternal (transaksi berjalan dan nilai tukar).
3. Pasar Bersama ASEAN
Selain itu, rezim JOKOWI-JK juga berhadapan dengan kondisi demografis, setting regional, dan global yang sudah sangat berbeda. Pertama, tahun 2015, kawasan ASEAN akan menjadi pasar bersama. Sampai saat ini, berbagai indikator menunjukkan bahwa kita belum (atau, semakin tidak) siap bersaing. Kita akan lebih banyak menjadi pasar bagi negara tetangga dibandingkan dengan sebaliknya. Kedua, proses pemulihan ekonomi di Amerika Serikat yang menormalkan kembali kebijakan the Fed berpotensi menyebabkan repatriasi dollar ke negara tersebut. Ketiga, selama beberapa tahun ke depan,harga komoditas ekspor kita akan cenderung turun mengingat trend pertumbuhan ekonomi emerging countriesyang tidak terlalu menggembirakan.Suasana ini dapat memperburuk neraca transaksi berjalan kita. Keempat, masalah-masalah struktural di sektor riil dan di sektor keuangan sebagaimana tercermin pada (i)struktur ekspor didominasi oleh komoditi primer (meningkat dari 20% pada 2005 menjadi 39 % pada 2013); (ii)ekspor barang manufaktur cenderung menurun (de-industrialisasi); (iii) kenaikan impor barang konsumsi karena kelas menengah yang bertambah dan pendapatan per kapita yang meningkat; serta (iv) pasar keuangan domestik yang rentan hanya karena perubahan perilaku dan persepsi investor merupakan tantangan yang cukup berat dalam mempertahankan stabilitas dan mengawal keberlanjutan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
4. Defining Moments
Lebih jauh lagi, sebagai negara berpendapatan menengah-bawah, kita tentu inginsegera menjadi negara berpendapatan tinggi. Dan, kesempatan itu ada pada kita, sekarang ini. Tidak akan ada kesempatan lain. Lima tahun ke depan adalah defining moments, apakah kita akan berhasil ke luar dari perangkap negara berpendapatan menengah atau tidak. Secara demografis, proporsi penduduk usia produktif dalam 15 tahun ke depan adalah yang paling tinggi (sekitar 70%). Kalau gagal maka kita akan menjadi tua tanpa menjadi lebih sejahtera. Dalam kaitan ini, Bappenas, Bank Dunia, dan beberapa lembaga multilateral serta lembaga riset berpandangan yang nyaris sama. Bappenas berpandangan bahwa dalam 5 tahun ke depan, Indonesia harus tumbuh 6-8 % dan kemudian dalam 10 tahun berikutnya harus tumbuh 2 digit untuk mencapai PDB per kapita USD12000 pada 2030. Bank Dunia menghitung dengan lebih sederhana; Indonesia harus tumbuh rata-rata 9 % selama 15 tahun berturut-turut.
5. Persoalannya, dari mana uangnya? Bagaimana kita melakukannya?
Menurut Pemerintah, ICOR kita sekarang ini 5,3. Artinya, kalau ingin menaikkan PDB 1 %, kita membutuhkan investasi sebesar 5,3%. Kalau ingin tumbuh 9 % seperti kata Bank Dunia maka kita harus menyiapkan investasi sekitar 45% dari PDB, atau RP4500 Trilyun. Dari mana uangnya? Pemerintah mungkin hanya dapat menyiapkan anggaran pembangunan sekitar 600 Trilyun kalau subsidi BBM dan listrik dihilangkan seluruhnya. Perbankan hanya dapat menyalurkan sekitar 700 Trilyun kalau kredit diijinkan tumbuh 20 %. Ditambah dengan pasar modal,retained earning yang dire-investasikan, dan pinjaman luar negeri mungkin dapat dikumpulkan totalnya sekitar 2500-3000Trilyun. Kita hanya akan mencapai pertumbuhan kurang dari 6%. Oleh karena itu, usaha untuk memberantas korupsi, membangun ‘governance’ yang baik, memperbaiki efisiensi, meningkatkan produktivitas, mendorong inovasi dan kreatifitas melalui penelitian dan pengembangan menjadi sangat penting agar dengan uang yang sama dapat dicapai pertumbuhan yang lebih tinggi. (Ironinya, dana untuk penelitian hampir negligible). Mungkin, mengundang investasi asing adalah opsi yang boleh dipertimbangkan. Karena bagaimanapun, rakyat tentu berharap rezim JOKOWI-JK akan dapat menembus tantangan-tantangan tersebut dan merealisasikannya sebagian visi bangsa ini.
Slide foto-foto selama acara |
https://www.youtube.com/watch?v=HuCXZSd8ZKM
MATERI Prof. Dr. Didik J Rachbini :
www.NOMagz.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar