Waktu : Selasa, 30 September 2014, 10:00 - 12:00wib
Tempat : Paramadina Graduate School, Energy Building 22fl., SCBD, Jakarta
Keynote Speaker: H.M. Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI terpilih
Pembicara: Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina | Arif Budimanta, Direktur Megawati Institute | Faisal Basri, Ekonom INDEF | Wijayanto Samirin, Penulis Buku
Moderator: Don Bosco Selamun, Chief Editor Berita Satu
ULASAN: Wakil Presiden Terpilih Jusuf Kalla (JK) mengungkapkan, terdapat tiga
kota yang memiliki ketimpangan paling parah antara kaya dan miskin di
dunia ini. Jakarta termasuk salah satu di antara tiga kota tersebut.
JK
bercerita, ketiga kota yang memiliki ketimpangan kesejahteraan yang
besar adalah Jakarta, Indonesia, Manila, Filipina dan Bombay, India .
"Jakarta
kota yang kompleks. Orang terkaya ada dan termiskin juga ada," kata
Kalla dalam peluncuran buku 'Bridging the Gap', Jakarta, Selasa
(30/9/2014).
Adanya ketimpangan tersebut tergambar dalam
perbandingan gaji atau pendapatan yang diterima oleh masyarakat. Di
Jakarta, terdapat orang yang memiliki gaji 100 kali lipat lebih besar
dibanding dengan gaji orang lain.
"Di Amerika hanya 10 kali, di Jakarta sampai 100 kali. Untuk negara maju, batasan ketimpangan itu hanya 10 kali," lanjutnya.
Ketimpangan yang terjadi di Jakarta lebih parah jika dibanding dengan Naypyidaw, Myanmar dan Kuala Lumpur, Malaysia.
Oleh
karena itu, menurut JK, untuk memangkas ketimpangan tersebut mesti ada
keadilan dalam hal kepemilikan, pekerjaan dan juga gaji atau pendapatan.
Untuk
memuluskan langkah tersebut, pemerintah harus melakukan perbaikan pada
anggaran, kebijakan anggaran, serta pendidikan di masyarakat.
"Cara melaksanakan alokasi budget dan kebijakannya. Tentu dinamika masyakat pendidikan dan semangatnya," pungkas dia. (Amd/Gdn)
Waktu: Senin, 29 September 2014, Pukul 12.00-17.00 WIB Lokasi: Gedung Utama Lantai 3, Kampus 1 Universitas Tarumanagara Jln. Letjen S. Parman no.1, Grogol - Jakarta Barat Narasumber :
Yosep Stanley Adi Prasetyo (Anggota Dewan Pers, Dewan Pakar Perhimpunan INTI)
Hilmar Farid (Sejarawan UI)
Moderator : Kurnia Setiawan (Dosen FSRD Untar, Wakil Ketua Dept. Pendidikan & Kebudayaan Perhimpunan INTI)
Penyelenggara: Pengurus Pusat GEMA INTI (Generasi Muda Indonesia Tionghoa) Program Studi Desain Komunikasi Visual FSRD Untar (Fakultas Seni Rupa
dan Desain Universitas Tarumanagara) ULASAN : Moderator Kurnia Setiawan yang juga sebagai perwakilan dari INTI sebagai tuan rumah membuka acara dengan mengatakan bahwa negara harus berani membuka sejarah Indonesia seperti apa. "Diskusi bertujuan agar para penonton tahu seperti apa sejarah kelam Indonesia sampai hari ini. "Setiap negara pasti punya masa kelam," ujarnya.
Narasumber pertama, Yosef
Stanley Adi Prasetyo mengatakan bahwa film The Act of Killing ini
merekam dari sudut pelaku. "Jarang ada film yang merekam gambar dan
mencari pengakuan dari sudut pelaku, biasanya dari sudut korban," ujar
Yosep. "Saya kira film ini satu-satunya yang menggunakan sudut pelaku,"
tambahnya. Menurut Yosep, negara tidak pernah menghukum para pembunuh
hingga saat ini. "Bahkan dalam film ada staf ahli menpora yang
seolah-olah dia adalah hero, melakukan tugas suci, membunuhi orang-orang
komunis. Orang lupa bahwa pembunuhan adalah kejahatan, tindak pidana, "
ujar Yosep. Anggota Dewan Pers ini tidak setuju pernyataan militer
Orde Baru bahwa konflik masa itu adalah konflik horisontal. Padahal
"lawannya tidak berdaya," kata Yosep. Yosep juga tidak setuju
pernyataan Menkopolhukam Djoko Suyanto bahwa pembunuhan 65 adalah
legitimate, untuk menyelamatkan negara akibat PKI memberontak. Padahal
dalam film tersebut tidak terlihat adanya pemberontakan. "Cerita para
pelakunya sama sekali tidak cerita tentang pemberontakan," lanjut Dewan
Pakar Perhimpunan INTI tersebut. Film ini memang banyak menampilkan
ormas Pemuda Pancasila (PP) di kota Medan sebagai ormas tempat bernaung
Anwar Congo, si mantan algojo dalam film tersebut. Namun begitu,
Yosep juga menambahkan bahwa pola pembantaian di Sumatera Utara berbeda
dengan di Jawa. "Pembunuhan di Jawa lebih banyak dilakukan oleh kelompok
agama, dan organisasi masyarakat yang mendapat dukungan dari militer,"
ujarnya.
Sementara pembicara
lain, Hilmar Farid memberikan pandangannya kenapa kita perlu dan melihat
kembali, bahkan perlu memikirkan peristiwa yang telah berlalu hampir 50
tahun lalu. Hilmar menjawabnya "karena sebagian masalah yang muncul
karena peristiwa itu, sampai sekarang masih ada bersama kita." Menurut
Sejarawan Universitas Indonesia ini, orang2 yang terlibat kekerasan
pada masa lalu menjadi dan masih menjadi bagian dari kekuasaan dan
kekuatan ekonomi. Sebagai seorang sejarawan, Hilmar berpendapat
bahwa peristiwa 1965 dengan pembunuhan massalnya, adalah sebuah momen di
mana prinsip-prinsip yang paling dasar diabaikan. Menurut Hilmar,
saat itu Partai Komunis Indonesia adalah partai yang terbuka dan legal.
Namun adanya kecurigaan bahwa PKI ingin merebut kekuasaan. "Partai
politik mana yang tidak ingin mengambilalih kekuasaan ?" tanyanya. Hilmar
sekali menekankan bahwa mengolah dan memahami secara bijak untuk
mencari jalan keluar dari peristiwa 1965 ini adalah karena "peristiwa
ini dampaknya bukan pada orang-orang yang hidup pada masa lalu. Korban
sesungguhnya adalah rakyat. Sampai hari ini," tuturnya. Hilmar lalu
mncontohkan peristiwa-peristiwa aktual yang sedang terjadi di Bogor
(Gereja Yasmin-red), maupun di Sampang (kasus penganut Syiah-red).
"Karena ada pihak-pihak yang merasa lebih besar daripada konstitusi,"
lanjut Hilmar.
Diskusi juga menghadirkan teleconference melalui
skype dengan tamu misteri yang dinamakan sebagai Anonymous, yaitu dari
pihak pembuat film. Dituturkannya bahwa memang sengaja film tidak
ditawarkan ke Badan Sensor Film, karena sudah tahu tidak bakal lolos
sensor. Jadi film hanya diputar secara gratis di komunitas-komunitas
saja, sampai masuk dalam nominasi Piala Oscar. "Film ini juga diunggah
di youtube. Dan penontonnya hampir 700.000 sampai 1 juta orang sudah
menonton film ini," tambahnya.
Jugiarie Soegiarto (Dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia)
Bas Heijne (Pembuat film dari Belanda)
Bonnie Triyana (Komunitas Historia)
Moderator: Rina (Alumni FIB UI)
Sambutan: Emma (Erasmus Huis Jakarta)
. Menurut Bonnie Triyana,
tahun 1900 adalah senjakala dari kolonialisme di Lebak. "Karena 45 tahun
setelah novel ini terbit, Indonesia merdeka," ujarnya. Bonnie
menekankan bahwa novel ini lahir ketika ada budaya yang mengharuskan
orang Belanda melihat kenyataan. "Dan mereka harus menempatkan diri
mereka pada masyarakat yang hidup pada waktu itu." lanjutnya. Menurut
Bonnie lagi, orang2 Belanda pada masa itu harus kompromi, hidup di
negeri tropis, tidak bisa menjalani sepenuhnya (apa yang disebut) Hindia
Belanda. "Juga tidak bisa menjalani sepenuhnya hidup sebagai masyarakat
Eropa," ujarnya. "Terutama mereka yang lahir dan besar di Hindia
Belanda," tambahnya. Menurutnya, Louis Couperus berusaha membongkar
kebiasaan atau hal-hal tabu pada masa itu, bahkan dilakukan oleh
masyarakat Belanda sendiri. "Orang Belanda melihat orang pribumi sebagai
jajahan, sementara orang pribumi melihat orang Belanda sebagai tuannya,
tapi di novel ini tidak demikian," kata anggota Komunitas Historia ini. Bagi
Bonnie, kita tidak bisa memahami sejarah sebagai hitam putih belaka,
tetapi ada wilayah yang abu-abu. Ada gubernur jendral pada masa itu juga
yang bekerja sangat rajin dan memperhatikan rakyatnya. Sementara
sejarah Indonesia mengajarkan bahwa Belanda selalu menjajah.
Kolonialisme selalu dikait-kaitkan dengan bentuk2 kekerasan. "Tapi
di dalam, faktanya tidak demikian," lanjutnya. Dan Couperus, menurut
Bonnie, membuat hal tersebut menjadi terlihat. "Menjadi terlihat
manusiawi," lanjutnya.
Sebelumnya, Jugiarie Soegiarto
mengatakan bahwa yang direkam dalam novel ini hanya sepotong atau
sebagian saja dari puncak-puncak kepengarangan Couperus. Menurut
Dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia ini,
karya-karya Couperus sedikit sekali, dan itu sudah dipilih oleh Bas
Heijne, sang pembuat film. Kritiknya pada film dokumenter ini
antara lain pada kemunculan Bas yang terlalu dominan. "Mungkin kalau
dikurangi, akan lebih mengena," sarannya.
Tempat : Galeri Cafe, Jl. CIkini Raya No. 73, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat
Narasumber:
Ir Nonot Harsono, MT – Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia
Dr. Setyanto P. Santosa – Ketua Masyarakat Telekomunikasi Indonesia (Mastel)
Prof Dr Ing Ir Kalamullah Ramli - Dirjen Pos & Penyelenggaraan
Informatika Kementerian Komunikasi & Informatika. Diwakili Ir. Anang
Achmad Latif, MSc.
Hasnil Fajri S.Kom- Koordinator Entrepreneur & Professional for Jokowi & Pelaku ICT & Ekonomi Kreatif
Forum Relawan Profesional mengadakan seminar bertema ICT dan Ekonomi Kreatif Berperan Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat tersebut adalah dalam rangka memberi masukan kepada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Forum ini juga menyarankan pembentukan Kementerian Ekonomi Kreatif karena bidang itu akan menjadi tantangan sekaligus peluang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menggerakan sektor riil bila terpisah dari Kementerian Pariwisata. "Ekonomi kreatif juga akan mendorong Indonesia menjadi salah satu negara maju anggota G7 di tahun 2040 dan menjadi salah satu negara terdepan dalam bidang teknologi komunikasi dan informasi atau ICT dan ekonomi kreatif di Asia dalam lima tahun ke depan," kata pegiat sekaligus Ketua Forum Relawan Profesional, Hasnil Fajri melalui siaran pers di Jakarta. Hasnil mengatakan seminar itu diharapkan menghasilkan masukan mengenai figur Menteri Ekonomi Kreatif kepada Jokowi-JK. Menteri Ekonomi Kreatif harus memiliki kriteria berkompetensi di bidangnya, memiliki pengalaman yang luas dan global serta integritas yang teruji.
Dari kalangan kaum
profesional, beredar nama-nama yang dianggap memenuhi persyaratan,
seperti Rusdi Kirana, Hasnil Fajri dan Whisnutama. Sementara untuk
Menteri Pariwisata muncul nama-nama seperti Chandra Andi Salam, Mira
Lesmana, Sylviana Murni dan I Made Mangku Pastika. Seminar itu juga
akan dihadiri beberapa birokrat, pelaku dan pecinta industri ICT dan
ekonomi kreatif, seperti Komisaris Badan Regulasi Telekomunikasi
Indonesia (BRTI) Nonot Harsono, Ketua Masyarakat Telekomunikasi (Mastel)
Setyanto P Santosa dan Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika
Kementerian Komunikasi dan Informatika Prof Kalamullah Ramli.
Lokasi: Pisa Cafe, Jl. Mahakam No, 11 Blok M, Jakarta Selatan
Pasca pemutaran film dan makan malam, diadakan diskusi
mengenai film yang baru saja diputar.
Narasumber: Hikmat Darmawan(pengamat komik, film, dan budaya pop) Moderator: Ihsan Ali-Fauzi
ULASAN:
Film yang diputar di bulan ini adalah Tae Guk Gi (Brotherhood of War), sebuah
film Korea Selatan tahun 2005 yang mengisahkan dua bersaudara, Jin Tae
Lee dan Jin Seok Lee yang terpaksa ikut berperang dalam perang saudara
Korea di tahun 1950. Jin Seok Lee, sang kakak, mengajukan diri untuk
ikut dalam pasukan untuk melindungi adiknya, Jin Tae Lee yang dipaksa
bergabung di garis depan. Dinamika perang membuat hubungan keduanya
berujung tragis.
Film ini menjadi salah satu film tersukses dalam
sejarah perfilman Korea Selatan dan memenangkan berbagai penghargaan
internasional. Dalam Festival Film Asia Pasifik ke 50 tahun 2005, film
ini memperoleh penghargaan sebagai film terbaik dan Kang Je Gyu,
dinobatkan sebagai sutradara terbaik. Tae Guk Gi menjadi salah satu dari
empat film Korea yang diputar dalam Festival Film Internasional Fajr
2006 di Iran. Pada tahun 2004, dalam Grand Bell Awards, penghargaan
utama untuk film di Korea Selatan, film ini memenangkan penghargaan
teknis: untuk penataan artistik, sinematografi, dan efek suara.
Forum Muda Paramadina (FMP) adalah badan di bawah PUSAD Paramadina yang fokus dalam memobilisasi energi kaum muda untuk melakukan studi dan advokasi ke arah Indonesia yang lebih baik, sesuai dengan misi Pusad Paramadina. Salah satu program bulanan FMP adalah pemutaran dan diskusi film. Dalam program ini diputar film-film peraih penghargaan internasional yang akan didiskusikan bersama narasumber berkualitas. Selain menikmati aspek sinematografi, program ini diharapkan menjadi sarana untuk mempelajari gejala-gejala sosial, ekonomi, politik, budaya, dan keagamaan di seluruh dunia. Program yang terselenggara atas kerjasama dengan Kafe Pisa Mahakam dan LSI Community ini gratis dan terbuka untuk umum (dengan reservasi).
Komisioner KPK, Bambang Widjojanto menyerukan agar jangan lagi menyebut "Penyelenggara Negara" atau "Pejabat Negara". "Mereka itu kan Pejabat PUBLIK," cetus Bambang yang biasa dipanggil BW. Lebih lanjut BW mengutarakan bahwa jika dalam sebuah pemerintahan para pemimpinnya itu isinya kekeluargaan (kakak, adik, sepupu dll), itu namanya adalah kerajaan. Bukan republik.
Bagi BW,
ada paradoks. Di saat era informasi makin terbuka, sistem keluasaan
makin tertutup. Dan di sini bagi BW, IGI menjadi relevan. "Karena itu sistem pemerintahan menjadi tertutup, karena tak ingin diketahui pelanggarannya," demikian BW.
Sementara
Dadang Trisasaongko dari Transparansi International Indonesia
menilai bahwa pasca pemilu 2014 terlihat ada keinginan kelompok
tertentu untuk kembali pada ketertutupan.