Seminar Nasional tentang
Kepemimpinan Nasional Baru dan
Pemajuan Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
Waktu:
Jumat, 15 Agustus 2014. Pukul 12.30-16.30 Wib.
Lokasi:
Tempat: Hotel Akmani, Jl. K.H. Wahid Hasyim No. 91 Jakarta Pusat.
Nara sumber:
- Prof. DR. H Mahasin (Litbang Kementerian Agama RI);
- Prof. Musda Mulia (The Megawati Institute);
- Tigor Naispospos (Waka Setara Institute);
- Abdul Mufti (DPP Muhammadiyah).
Ismail Hasani (Setara Institute).
ULASAN:
Musdah mempertanyakan apakah para atheis tidak berhak tinggal di indonesia ?
Bagi Musdah perlu dibuat daftar regulasi tentang pelanggaran HAM.
Musdah menjelaskan fakta bahwa intoleransi sudah mulai diajarkan secara terstruktur, sistematis dan masif sejak usia dini, bahkan sejak Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Terhadap keberadaan kelompok minoritas, Musdah bertanya "terhadap kelompok minoritas, atau kepercayaan perlu ditanyakan apa yang perlu menjadi prioritas?"
Tigor Naispospos memberikan apresiasi pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang bisa mempertahankan stabilitas negara.
Tentang kepemimpinan yang baru, menjadi penting tentang siapa menteri agama yang baru di pemerintahan baru nanti.
"Kementerian agama harus memainkan perannya lebih tegas," kata Tigor. "Kementerian agama cenderung berpihak pada mayoritas, lanjutnya.
Tigor juga memberi usulan bahwa sudah saatnya penghayat kepercayaan tidak lagi ada di bawah kementrian kebudayaan, melainkan di bawah Departemen Agama.
1. Agar kita memiliki "blue print" atau cetak biru mengenai pluralisme. "Pluralisme jenis apa yang dianut indonesia. Harus dibuat rumusan yang jelas," kata Mufti.
2. Perlunya membangun soft pluralism. Yakni mengutamakan pembangunan mindset atau pola pikir.
Moderator Ismail Hasani menambahkan bahwa dalam 3 tahun, anggaran membangun karakter bangsa sangat besar. "Namun dampaknya tak terasa," jelas Ismail.
Pada sesi kedua, yakni diskusi dengan menteri agama Lukman Hakim Syaifudin, dihadiri beberapa wakil dari golongan minoritas. Mereka bergabung dalam komunitas yang disebut Sobat KBB (Kebebasan Beribadah dan Berkeyakinan).
Misalnya dari kaum Penghayat Kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa, wakil dari GKI Yasmin,serta dari Ahmadiyah maupun Syiah.
Menurut Lukman, intinya adalah bagaimana menyikapi relasi antara agama dan negara yang bersifat dinamis.
"Ini semua tergantung bagaimana tokoh-tokoh agama yang ada di masyarakat , selain sistem nilai yang ada di masyarakat," katanya.
Lukman menyatakan perlunya penekanan pada relasi antara agama dan negara.
"Idealnya antara masyarakat dan agama saling membutuhkan (simbiosis mutualisme)," kata Lukman. "Tidak ada suku di Indonesia yang tidak memiliki nilai agama dalam kehidupan mereka. Idealnya negara mempunyai kebutuhan akan agama, disamping agama yang membutuhkan pengawalan oleh negara. Agar para pelaku agama tidak berlaku semaunya yang bisa mencederai demokrasi," demikian Menteri Agama.
Slide foto-foto selama acara |
VIDEO ACARA :
http://youtu.be/eCvqqjBO9Ac
www.NOMagz.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar