Diskusi & Peliputan
"Survei dan Media Sosial
dalam Demokrasi Indonesia"
Hari/Tanggal :
Jumat, 22 Agustus 2014, 15.30 - 18.00
Tempat :
Emerald Room 1, lantai 1, Oria Hotel, Jl. K.H. Wahid Hasyim, Sabang Jakarta Pusat
Pembicara
- Moh. Qodari (INDO BAROMETER)
- Andrinof Chaniago (Pakar Sosial Politik UI)
- Sony Subrata (PolitcaWave)
- Prof. Dr. Hamdi Muluk (Dewan Etik Persepi)
Penyelenggara:
Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi)
Moh Qodari dari INDO Barometer mengatakan bahwa ada 2 hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan survey di Indonesia, sejak adanya kegiatan tersebut di Indonesia, yakni:
1.Apakah survey bisa diterapkan di masyarakat yang tertutup seperti di Indonesia ini.
2.Metode-metode sampling adalah standar. Maksudnya berlaku di manapun di seluruh dunia. "Apakah hal ini bisa diterapkan di Indonesia yang masyarakatnya multi ragam," tanya Qodari.
"Ternyata moment 2004 yang lalu membuktikan bahwa hal itu bisa diterapkan di indonesia,"lanjutnya.
Menurut Qodari, survey ngawur sudah ada sejak dulu, namun lebih karena ketidaktahuan, bukan karena niat jahat.
Dia menyayangkan, sebenarnya trend kepercayaan pada survey naik, namun akhir-akhir ini ada masalah soal lembaga survey.
Soal sertifikasi pada lembaga survey, Qodari berpendapat bahwa sertifikat tersebut bisa membuat tergelincir. Maksudnya bila lembaga survey tersebut memang sudah berniat membuat survey sembarangan dari awal.
Soal pelaporan lembaga survey yang diproses di polisi ini, "penting membuat agar jangan main-main deng Quick Count" demikian Moh Qodari.
Sementara Ketua Dewan Etik Perhimpunan Lembaga Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) Hamdi Muluk menilai, perlu ada sertifikasi untuk setiap lembaga yang menjalankan penelitian opini publik. Meskipun dia mengakui, sebelumnya sempat bersikap liberal terhadap kemunculan lembaga-lembaga survei sampai akhirnya terjadi kehebohan hasil hitung cepat Pilpres kemarin.
"Sekarang perlu pengetatan? Betul," kata Hamdi dalam acara bertajuk 'Survei dan Media Sosial dalam Demokrasi Indonesia' di Jalan Sabang, Jakarta Pusat, Jumat 22 Agustus 2014.
"Tidak boleh sembarang orang masuk riset itu. Hal-hal yang fundamental dia nggak ngerti," imbuh dia.
Pakar psikologi Politik Universitas Indonesia (UI) itu menilai, bisa saja orang-orang yang melahirkan lembaga survei 'asal-asalan' tersebut tak kredibel. Seperti yang terjadi akhir-akhir ini.
"Mungkin awalnya preman, orang culas, maling, untuk mendapat bayaran. Kita terlalu liberal tanpa ngecek, cukup nggak pengalaman akademiknya, pernah belajar sampling nggak, belajar statistik nggak, psikometri," cetus dia.
Menurut Hamdi, masalah ini tak bisa dibiarkan. Kemunculan lembaga-lembaga survei harus disaring.
"Ini gawat juga, sikap saya jadi berubah sekarang karena banyak kasus survei asal-asalan. Perlu pengetatan, tidak boleh liberal lagi. Ilmu penting. Kalau kita berpikir ada sertifikasi, ini siapa yang melakukan. Siapa lembaga yang bisa secara legal formal mengeluarkan itu. Ini harus sama-sama dipikirkan," tandas Hamdi.
Slide Sony Subrata |
Dalam bidang penelitian sosial, Sony yang juga peneliti lembaga PoliticaWave mengistilahkan berbagai informasi di media sosial sebagai /big data/.
"Sifatnya acak dan tidak terpola tapi bisa dipetakan polanya," ujar Sony, berbicara dalam diskusi "Survei dan Media Sosial dalam Demokrasi Indonesia", di Jakarta Pusat, Jumat (22/8).
Melalui perangkat lunak, Sony mengaku, dia dan tim membaca bagaimana perkembangan respon netizen terhadap Jokowi-JK. Dia menggambarkan, di acara debat pertama, sentimen positif untuk Jokowi-JK terpantau cenderung rendah.
"Tapi di debat terakhir, jauh melejit. Apalagi ketika Pak Hatta bilang 'Kalpataru' itu, itu seperti gol bunuh diri bagi mereka," ujar Sony.
Sony menceritakan, berbagai aksi kreatif di internet yang mendongkrak elektabilitas Jokowi-JK tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui sebuah rencana.
Menurut Sony, berbagai tanda pagar (tagar//hashtag/) yang menembus /trending topic/ dunia dirumuskan dengan berbagai pertimbangan.
Dia mencontohkan, ada dasar pikir di balik tagar #AkhirnyaMilihJokowi yang sukses menyita perhatian netizen.
"Jadi kami berpikir, apa kalimat yang menggambarkan terjadi perubahan sikap, entah sebelumnya pendukung pasangan nomor 1 ataupun dia /undecided voter/ disepakatilah #AkhirnyaMilihJokowi," ujar dia.
Tak hanya merangkai kata, para relawan selebritis juga kerap dilibatkan dan diberi pengarahan. Sony menyebutkan, banyak selebritis, termasuk Joko Anwar hingga Sherina, terkoordinasi dalam rencana tersebut.
Contoh lain, menurut Sony adalah kesuksesan konser "Salam Dua Jari". Dibanding acara debat, menurut dia, konser tersebut sebenarnya biasa saja karena hanya dihadiri dan disaksikan oleh 80 hingga 100 ribu orang.
"Tapi dengan media sosial, efeknya menjadi jauh lebih besar," ujar dia.
sumber1
sumber2
Slide foto-foto selama acara |
http://www.youtube.com/watch?v=0zKUuduGJ80
www.NOMagz.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar