Banyak cara
dilakukan orang dalam menyalurkan inspirasi dan gagasan-gagasan salah
satunya melukis. Melukis sebuah karya seni yang mungkin tidak ternilai
harganya, tapi bagaimana kalau karya seni itu di palsukan.
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) bersama Perkumpulan Pencinta Senirupa Indonesia (PPSI), Institut Kesenian Jakarta (IKJ), dan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki mengadakan diskusi buku bertajuk Jejak Lukisan Palsu Indonesia pada Rabu, 18 Juni 2014, pukul 15.00 WIB di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki.
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) bersama Perkumpulan Pencinta Senirupa Indonesia (PPSI), Institut Kesenian Jakarta (IKJ), dan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki mengadakan diskusi buku bertajuk Jejak Lukisan Palsu Indonesia pada Rabu, 18 Juni 2014, pukul 15.00 WIB di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki.
Siapa yang paling dirugikan oleh pemalsuan
lukisan? Sudah pasti ia adalah kolektor yang membeli lukisan palsu.
Namun, dampak selanjutnya bukanlah hanya mengena pada diri kolektor
secara pribadi, melainkan pada kolektor sebagai sebuah prasarana dunia
seni rupa.
Diskusi
buku Jejak Lukisan Palsu Indonesia menghadirkan narasumber:
Bambang
Bujono selaku penyunting buku ini,
Amir Sidharta, pengulas seni rupa
yang memiliki sebuah balai lelang,
Diskusi ini dipandu oleh Chandra Johan,
Pelukis dan Kurator Galeri Cemara 6.
Diksusi buku Jejak Lukisan Palsu Indonesia akan
memaparkan tentang seberapa penting dan genting kasus-kasus pemalsuan
lukisan di Indonesia, apa saja konsekuensi dengan adanya pemalsuan
tersebut, dan sudah seberapa jauh pemalsuan lukisan ini 'mengganggu'
salah satu prasarana seni rupa Indonesia.
Penyunting
buku Jejak Lukisan Palsu Indonesia, Bambang Bujono, mengatakan banyak hal nantinya dibahas terkait isi buku tersebut
tentang seberapa penting dan genting kasus-kasus pemalsuan lukisan di
Indonesia.
Selain itu, apa saja konsekuensi dengan adanya pemalsuan tersebut, dan sudah seberapa jauh pemalsuan lukisan ini mengganggu prasarana seni rupa Indonesia.
Mantan jurnalis Majalah Tempo ini menjelaskan, kolektor pelukis adalah orang yang paling dirugikan dengan adanya pemalsuan lukisan. Namun dampak selanjutnya bukanlah hanya mengena pada diri kolektor secara pribadi, melainkan juga kolektor sebagai prasarana dunia seni rupa.
"Prasarana kolektor dunia seni rupa kita yang mulai terbentuk nyata pada pertengahan 1980-an, semula hanya ada satu-dua kolektor Indonesia bukan hanya membentuk sisi lain, yakni pasar seni rupa, melainkan langsung atau tak langsung juga merangsang perkembangan seni rupa kita," katanya.
Karena itu sedikit banyak adanya gangguan pada prasarana kolektor akan juga berpengaruh pada perkembangan seni rupa Indonesia yang sudah hadir di seni rupa global.
Selain itu, apa saja konsekuensi dengan adanya pemalsuan tersebut, dan sudah seberapa jauh pemalsuan lukisan ini mengganggu prasarana seni rupa Indonesia.
Mantan jurnalis Majalah Tempo ini menjelaskan, kolektor pelukis adalah orang yang paling dirugikan dengan adanya pemalsuan lukisan. Namun dampak selanjutnya bukanlah hanya mengena pada diri kolektor secara pribadi, melainkan juga kolektor sebagai prasarana dunia seni rupa.
"Prasarana kolektor dunia seni rupa kita yang mulai terbentuk nyata pada pertengahan 1980-an, semula hanya ada satu-dua kolektor Indonesia bukan hanya membentuk sisi lain, yakni pasar seni rupa, melainkan langsung atau tak langsung juga merangsang perkembangan seni rupa kita," katanya.
Karena itu sedikit banyak adanya gangguan pada prasarana kolektor akan juga berpengaruh pada perkembangan seni rupa Indonesia yang sudah hadir di seni rupa global.
Buku Jejak Lukisan Palsu Indonesia adalah buku pertama yang dipublikasikan yang memuat sejumlah fakta, wawancara, analisis, dan reproduksi yang berkaitan dengan pemalsuan lukisan di Indonesia.
Lukisan S. Sudjojono dipilih
sebagai pokok bahasan karena sejumlah karya yang diragukan
keautentikannya di OHD Museum.
Mengenai Bambang Bujono
Penulis dan editor, pernah bekerja sebagai wartawan
di Majalah Tempo dari 1978 sampai majalah ini dibredel Pemerintah
Soeharto, 21 Juni 1994, lalu Ikut merintis Tempointeraktif (1996),
memimpin majalah D & R (1996-2000) setelah majalah ini dibeli PT
Grafiti Pers (penerbit Tempo yang diberedel). Selanjutnya, pria
kelahiran Solo pada 1947 ini meneruskan menulis tentang seni rupa (ikut
menulis esei tentang Affandi di buku Affandi terbitan Sardjana
Sumichan), menyunting beberapa buku (antara lain Seni Rupa Indonesia
dalam Kritik dan Esai, terbitan Dewan Kesenian Jakarta, 2012, bersama
Wicaksono Adi.
Mengenai Amir Sidharta
Adalah kurator museum Universitas Pelita Harapan.
Saat ini ia mengelola balai lelang SIDHartA Auctioneer. Pameran yang
telah digarapnya di antaranya pameran "Tegang Bentang Perdebatan
Pemikiran Dalam Perkembangan Arsitektur di Indonesia" dan "Pameran Mooi
Indie Hingga Persagi" di Museum Seni Rupa Jakarta, 1997. Ia juga telah
menerbitkan beberapa buku tentang perupa Indonesia, di antaranya S.
Sudjojono Visible Soul, Vibrant Arie Smit, Erica Art's Most Playful
Child dan buku tentang arsitektur kontemporer Indonesia, 25 Tropical
Houses in Indonesia. Ia mendapatkan pendidikannya dalam bidang
arsitektur di University of Michigan, Ann Arbor, Michigan, dan dalam
bidang permuseuman di George Washington University, Washington, DC,
Amerika Serikat.
Mengenai Irawan Karseno
Pelukis yang juga menjabat Ketua Dewan Kesenian
Jakarta periode 2013-15, yang menulis skripsi sarjananya membahas
tema-tema sosial dalam lukisan S. Sudjojono, dibawah bimbingan almarhum
Sanento Yuliman. Irawan akan memberikan contoh-contoh bagaimana analisis
tema bisa menjadi salah satu pegangan untuk menengarai apakah sebuah
lukisan yang dinyatakan sebagai karya S. Sudjojono benar Sudjojono
dipilih sebagai pokok bahasan karena sejumlah karya yang diragukan
keautentikannya di OHD Museum, antara lain, dinyatakan sebagai lukisan
S. Sudjojono.
www.NOMagz.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar