Trilogi Dokumenter Media : Pemutaran dan diskusi film tentang dokumenter.
Program Media & Informasi Yayasan Tifa bekerjasama dengan Yayasan Komunikatif mempersembahkan “Trilogi Dokumenter Media” menggelar acara pemutaran dan diskusi film dokumenter tentang media selama dua hari, Selasa 29 – Rabu 30 April 2014 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki Jakarta.
Pada hari pertama Selasa, 29 April 2014, dilakukan pemutaran film dokumenter “Oligarki Televisi” dilanjutkan diskusi. Persoalan hak publik berupa frekwensi yang dikuasai segelintir pemodal menjadi tema film yang disutradarai Erlan Basri. Efeknya adalah hak publik untuk mendapatkan tayangan yang berkualitas dan mendidik jadi hilang akibat tayangan yang didominasi hiburan.
Persoalan bermula dari regulasi yang memungkinkan pemilik modal mengusai frekwensi yang sebenarnya menjadi haknya publik. Komisi Penyiaran Indonesia yang diharapkan menjadi pengontrol tayangan tidak sehat dan mendidik, tidak bekerja secara efektif akibat regulasinya didesain untuk memihak pemilik televisi.
Dalam film tersebut, digambarkan kegelisahan seorang bintang film beken periode 80-an yang kini menjadi aktifis pergerakan Pong Harjatmo, atas persoalan tayangan televisi dan dominasi frekwensi oleh segelintir orang.
Menurut Erlan Basri, yang menyutradarai film tersebut, munculnya gagasan pembuatan film tersebut bermula dari kegelisahannya akibat hilangnya kebudayaan dan kearifan lokal pada berbagai kultur masyarakat pedalaman saat ia ditugasi membuat tayangan tentang multikultur.
“Saya pindah dari satu daerah ke daerah lain, yang saya rasakan dialog-dialog anak-anak itu seperti anak-anak Jakarta,” kata Erlan Basri.
Erlan mengkhawatirkan, keseragaman dialog pada anak-anak pedalaman akibat tayangan-tayangan televisi nasional jika dibiarkan akan menggerus budaya dan kearifan lokal mereka.
Saat sesi diskusi, Pong Harjatmo mengajak berbagai kalangan untuk terus menggelindingkan perubahan di negeri ini. Melalui film dokumenter, diharapkan edukasi kepada publik untuk menyuarakan keadilan demi terciptanya perubahan dapat terlaksana secara efektif.
“Kalau saya ini sudah banyak penggemarnya, yang saya inginkan adalah orang yang mau bekerja melakukan perubahan. Saya butuh teman berjuang,” ujar Pong.
Sementara itu, pada hari rabu 30 April 2014, dilakukan dua pemutaran dan diskusi film dokumenter yang berjudul “Kubur Kabar Kabur” dan “Years of Blur”.
sumber satuislam
Program Media & Informasi Yayasan Tifa bekerjasama dengan Yayasan Komunikatif mempersembahkan “Trilogi Dokumenter Media” menggelar acara pemutaran dan diskusi film dokumenter tentang media selama dua hari, Selasa 29 – Rabu 30 April 2014 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki Jakarta.
Pada hari pertama Selasa, 29 April 2014, dilakukan pemutaran film dokumenter “Oligarki Televisi” dilanjutkan diskusi. Persoalan hak publik berupa frekwensi yang dikuasai segelintir pemodal menjadi tema film yang disutradarai Erlan Basri. Efeknya adalah hak publik untuk mendapatkan tayangan yang berkualitas dan mendidik jadi hilang akibat tayangan yang didominasi hiburan.
Buku Yang Dibagikan |
Persoalan bermula dari regulasi yang memungkinkan pemilik modal mengusai frekwensi yang sebenarnya menjadi haknya publik. Komisi Penyiaran Indonesia yang diharapkan menjadi pengontrol tayangan tidak sehat dan mendidik, tidak bekerja secara efektif akibat regulasinya didesain untuk memihak pemilik televisi.
Dalam film tersebut, digambarkan kegelisahan seorang bintang film beken periode 80-an yang kini menjadi aktifis pergerakan Pong Harjatmo, atas persoalan tayangan televisi dan dominasi frekwensi oleh segelintir orang.
Menurut Erlan Basri, yang menyutradarai film tersebut, munculnya gagasan pembuatan film tersebut bermula dari kegelisahannya akibat hilangnya kebudayaan dan kearifan lokal pada berbagai kultur masyarakat pedalaman saat ia ditugasi membuat tayangan tentang multikultur.
“Saya pindah dari satu daerah ke daerah lain, yang saya rasakan dialog-dialog anak-anak itu seperti anak-anak Jakarta,” kata Erlan Basri.
Erlan mengkhawatirkan, keseragaman dialog pada anak-anak pedalaman akibat tayangan-tayangan televisi nasional jika dibiarkan akan menggerus budaya dan kearifan lokal mereka.
Saat sesi diskusi, Pong Harjatmo mengajak berbagai kalangan untuk terus menggelindingkan perubahan di negeri ini. Melalui film dokumenter, diharapkan edukasi kepada publik untuk menyuarakan keadilan demi terciptanya perubahan dapat terlaksana secara efektif.
“Kalau saya ini sudah banyak penggemarnya, yang saya inginkan adalah orang yang mau bekerja melakukan perubahan. Saya butuh teman berjuang,” ujar Pong.
Sementara itu, pada hari rabu 30 April 2014, dilakukan dua pemutaran dan diskusi film dokumenter yang berjudul “Kubur Kabar Kabur” dan “Years of Blur”.
sumber satuislam
Slide Foto-foto seputar acara
VIDEO ACARA :
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar