Bentara Budaya Jakarta mengadakan PAMERAN RADIO LAYANG SWARA
Pameran yang diresmikan hari Kamis, 24 April 2014 pukul 19.30 WIB ini, akan berlangsung hingga 3 Mei 2014 pukul 10.00 – 18.00 WIB.
Di
era serba digital saat ini, peran radio semakin langka. Bukan hanya
tergusur oleh hadirnya internet, facebook, twitter, instagram dan
perangkat digital lainnya, tapi terutama oleh televisi. Benda layar kaca
ini sudah menjamah seluruh pelosok dunia dan lebih menarik ketimbang
radio, karena menyiarkan sebuah peristiwa secara visual dan seketika.
Toh
radio memiliki sejarahnya sendiri dan berubah menjadi benda klangenan.
Muncullah beberapa kelompok pecinta radio yang selain berupaya
melestarikan benda ajaib pada jamannya ini, juga lebih sebagai media
bersilahturami lewat media radio. Pameran bertajuk “Layang Swara” ini, menjadi salah satu media untuk memajang radio yang dibuat sekitar 1930-1970 dan yang berada di Indonesia. Pada jaman penjajahan Belanda, banyak beredar radio-radio produksi Belanda dan Jerman dengan merk yang terkenal seperti Philips atau Erres, juga Telefunken dan Blaupunk. Setelah masa revolusi dan kemerdekaan radio tabung tetap diproduksi bahkan menjadi barang mewah pada tahun 1960-an, dan muncul era radio transistor yang lebih ringan, mudah dibawa, portable, dan menghasilkan kualitas suara yang baik pula. Pada tahun 1960-1970an, ketika televisi masih menjadi benda mahal sekaligus bergengsi, penduduk lebih banyak mendengarkan radio. Acara-acara menarik sangat dekat dengan gendang telinga pendengar seperti sandiwara radio, pangkur jenggleng Basiyo, kritik Pak Besut, atau ketoprak Mataram. Lewat radio transistor seluruh pelosok Nusantara dapat mendengarkan siaran gelombang pendek (short wave) siaran-siaran berbahasa Indonesia dari siaran Radio Nederland Wereldomproep Hilversum, Siaran Jerman Deutschewelle dari Koln (kini di Bonn), BBC London, NHK Jepang, Radio Rusia, ABC Radio Australia, dan masih banyak lagi.
Layang Swara, atau Berita Suara, merupakan pameran radio kedua setelah pameran serupa digelar 15 tahun silam berjudul “Sekali di Udara Tetep di Udara”. Pameran melibatkan kelompok pecinta radio yang menetap di Yogyakarta, Padmaditya, yang menampung beberapa kolektor radio dari Magelang, Semarang, dan Yogyakarta. Dari para kolektor inilah, materi pameran diperoleh. Padmaditya merupakan akronim dari “Pelestari Audio Lama dan radio Tabung Yogyakarta”, berdiri tahun 2011 beranggotakan 11 orang. Tujuannya untuk melestarikan audio lama tak saja untuk dokumentasi sejarah, namun sekaligus menyajikan kelebihan radio lama yang dapat dilihat dari bentuknya yang unik, artistik, kualitas suara analog yang berbeda dengan audio terkini.
Radio-radio yang dipamerkan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar